Kita adalah Pilihan yang Kita Buat Setiap Harinya

Teman-teman, hari ini kita kedatangan dr. Tompi, teman saya yang sudah lama saya kenal, seorang musisi yang terkenal banget,

fotografer, apa lagi ya, pembuat film, dokter, macam-macam. Bisa dibilang renaissance man (serba bisa).

Tom, terima kasih, bisa datang ke studio.

dr. TOMPI: Wah senang banget, Pak, dari pertama kali lihat Endgame, saya langsung bilang. "Gue harus diundang."

- Itu sebetulnya usulan dari teman-teman dari awal,

tapi saya bilang, "Belakangan, jangan dari awal, karena Tompi itu harus ngelihat dulu, dan dia tuh tipe yang harus percaya dulu produknya."

Tom, saya mau nanya mengenai masa kecil Anda. Cerita dikit deh dari lahir di Lhokseumawe, 22 September, 1978 ya? Sehari setelah saya lahir, tapi beda 13 tahun.

Gimana Tom? Cerita. - Saya berasal dari keluarga berkecukupan, tapi tidak berlebihan.

Jadi, bapak saya itu dulu pelaut,

terus banting setir jadi petani, tapi bukan di nanamnya, tapi lebih ke kilang padinya.

Ibu saya guru TK yang kebetulan punya bisnis sampingan sebagai guru sendratari Aceh tradisional dan tata rias pengantin, belakangan.

Saya sendiri lahir di kampung, di Lhokseumawe. Keberuntungan saya saat ibu saya pindah mengajar di Taman Siswa LNG Arun.

Nah di situ saya dapat kesempatan untuk punya pendidikan lebih baik. Anak guru boleh sekolah di situ.

Dari situ, ya sejak kecil saya terbiasa untuk senang aja gitu, "Tar SMP gue mau ke mana ya? SMA gue pingin ke mana?"

Nah cita-cita saya adalah kuliah harus di pulau Jawa, terserah mau kuliah apa.

Jadi begitu SD-SMP, SMA saya pindah ke Banda Aceh. Tadinya sempat ikut Taruna Nusantara, nggak lulus karena psikotes saya nggak cocok jadi orang pintar kayaknya, nggak cocok jadi tentara.

Jadi, saya juga bingung waktu itu, seingat saya, nggak lulus kayaknya gara-gara saya becanda.

Saya dikasih soal psikotes, ini kog soalnya aneh-aneh sih bahasanya.

"Kalau seandainya bumi itu segi empat, dan kamu berada di ujungnya, apa yang terjadi?" Pertanyaannya kira-kira kayak gitu.

Saya bilang, "Saya jatuh dong kalau saya jalan di satu sisi." Saya becandain aja, saya kira itu nggak serius, ternyata itu soal serius, dan itu yang bikin saya nggak lulus.

Ya, di samping tinggi mungkin juga kurang-kurang dikit. Ya udah, akhirnya saya masuk ke sekolah inti daerah, Pak.

Jadi kebetulan Aceh pada saat itu bikin sekolah (SMA) Modal Bangsa. Kan waktu Taruna Nusantara muncul, semua daerah jadi bikin sekolah-sekolah unggulan.

Saya ikut tes, masuk. Lulus dari situ, seperti rencana saya, saya harus hijrah ke Jakarta, eh ke pulau Jawa, harus kuliah di pulau Jawa.

Dan keinginan saya sudah bulat, saya mau ikut IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Ibu saya marah dong.

- Waktu itu udah nyanyi? - Belum. Saya nggak pernah nyanyi, Pak.

SD, SMP, SMA, saya nggak pernah nyanyi. Saya baca puisi, iya. Saya juara cipta baca pusi sampai level Sumatra.

Udah itu saya sutradara terbaik se-Sumatra waktu itu, ada perlombaan antar SMA. Pokoknya kelas kampung, saya menang pokoknya.

Tapi nggak ada hubungannya sama musik. Kebetulan karena saya sekolahnya di Taman Siswa LNG Arun ini,

dari SD-SMP itu kita ada pelajaran musiknya bagus, karena guru musiknya memang lulusan sekolah musik.

Jadi saya sudah terbiasa baca not balok. Sebatas baca sederhana, saya bisa. Tapi sudah yang agak ribet, ya udah biar orang lain aja.

- Ntar bakal ada pertanyaan kayak gitu nanti. - Yang sederhana main suling recorder, main piano dikit-dikit saya bisa.

SMP saya ikut marching-band; main terompet. Ya, gitu-gitu saya sudah terekspos dengan musik, tapi nggak pernah nyanyi.

Dan musik yang saya senang waktu saya masih kecil itu musik klasik.

Saya ingat banget waktu saya SMP-SMA, teman-teman saya koleksi Sepultura, Metallica, dll,

saya koleksinya itu (JS) Bach, (Antonio) Vivaldi, semua musik-musik klasik saya koleksi,

sama soundtrack film yang orkestra. Jadi yang saya dengerin begituan. Tapi saya nggak tahu siapa yang bikin. Pokoknya saya beli aja.

Dengerin, kan masih kaset tuh. Saya kalau di Banda Aceh, setiap akhir pekan, uang jajan saya sisihkan buat beli kaset.

Dan itu teman-teman saya nggak ada yang pinjam. Karena musiknya apaan sih mereka nggak ngerti.

Ya itu yang saya dengar. Saya dengar Phantom of the Opera. Jadi mungkin eksposur itu, karena udah dari awal, jadi agak rapih tatanan eksposur musiknya.

- Orang tua nyanyi nggak? - Ibu saya penyanyi. Tapi beliau bukan penyanyi panggung.

Karena tari Aceh itu kan ada musiknya, ada vokalnya kan Pak.

Jadi kita berseudati atau bersaman itu sambil nyanyi. Mungkin latihan nadanya di situ.

Latihan vokalnya karena saya sambil nari, saya ikut tari Saman, dll,

ya di situ saya latihan vokalnya secara tidak sadar. Terus saya main rapai, main gendang Aceh.

Ilmu-ilmu dasar itu begitu saya sampai di Jakarta, dikasih konga, ya sudah saya biasa main gendang ...

saya pindahin aja ke konga. Orang bilang, "Wah jago banget." Saya sempat dapat penghargaan (sebagai) pemain perkusi terbaik JGTC (Jazz Goes to Campus)

Belajar kagak, pegang alat baru sekali itu doang, tiba-tiba jadi juara. Saya juga bingung, "Yang salah jurinya atau saya?"

Tapi mungkin mentransfer apa yang saya punya ke hal yang baru. Jadi menarik aja. Cuma yang menarik, yang paling lucu sebenarnya adalah cita-cita saya pingin jadi seniman,

saya pingin sekolah IKJ, udah bulat, "Saya pokoknya masuk IKJ." Berantem sama ibu saya lama banget.

Ibu saya bersikeras, "Jangan. Harus (jurusan) Kedokteran. Di keluarga harus ada yang dokter satu."

Kalau di Aceh, jaman itu ya. kalau ada yang dokter tuh keluarganya kayak keangkat gitu.

- Keren. Prestise. - Iya, prestisenya di situ. Ibu saya pingin.

- Nggak usah dulu, sekarang juga masih. - Oh masih ya? Ya sudah, jadi saya nggak mau. Cuma kebetulan memang secara akademik nilai saya baik-baik saja.

Jadi SD, SMP, SMA, selalu masuk di lingkungan 5 besar, 3 besar. Cuma saya nggak terlalu suka belajar.

Karena saya belajar Biologi, Fisika, Matematika, segala macam, mungkin penalarannya beda dengan penalaran teman-teman saya yang memang ngafalin,

yang pola pikir eksak. Semua saya analogikan saja. Jadi saya lulus jadi dokter bedah plastik pun, itu dengan proses analogi semua.

Jadi bukan yang, ya mungkin otak seni saya yang lebih banyak saya pakai untuk itu.

Jadi saya nggak bisa ngafalin misalnya jalannya arteri itu kalau di buku anatomi itu ribet banget; jadi begitu keluar dari jantung, nanti sekian centimeter dari ini,

dia akan pecah jadi dua, jalan, nanti ketemu lagi pecah jadi 3. Nah itu saya bingung. Saya ngafalin itu sampai bingung, nggak bisa-bisa.

Ya sudah, saya gambar saja. Saya gambar sambil saya main-main, "Kira-kira segini berarti sekian centimeter nih."

Jadi saya kayak ngomong sendiri, bikin cerita, sampai akhirnya nempel di kepala, dan begitu ujian yang saya ingat tuh cerpen yang saya bikin itu.

- Dan sama? Wow. - Iya. Ilmu saya gara-gara itu, Pak. Jadi, kalau orang lihat catatan saya, pasti bingung,

"Ini apaan gambar-gambar nggak jelas." Jadi yang tahu saya doang.

- Oke, terus Jazz Goes to Campus, itu kan pertama kali kita ketemu tahun 2003.

Anda masih di UI (Universitas Indonesia), S1, nyanyi di kampus, terus saya dapat info dari pemain piano band namanya Cherokee.

Cerita deh, gimana tuh perjalanan dengan Cherokee.

- Nah, tiba-tiba saya kenal sama Rio (Moreno) tuh ya begitu aja. Namanya Rio pianisnya, sama Harry Toledo waktu itu.

Terus tiba-tiba Mas Harry yang telpon saya, "Tom, lagi di mana?"

"Jalan, Mas. Jalan pulang." "Nyanyi ma kita yuk, ma Cherokee, kita mau tampil di Singapura." Nggak cerita kalau mau meluncurkan album.

"Oh gitu ya, wah mau dong, belum pernah nih ke Singapura." Orang kampung, Pak. Disuruh ke Singapura mah senang banget.

"Tapi gua belum punya paspor, Mas." "Lu malam ini bisa nggak ke sini?"

Saya ingat banget itu disuruh ke kafenya Pak Dian, adeknya Pak Gita. - Di Wolter Monginsidi?

- Bukan, yang di Pondok Indah. Yang kafe pizza itu. - Kakak saya. Tapi Anda pernah nyanyi juga kan di Wolter Monginsidi?

- Iya sebelumya pernah di Wolter Monginsidi punya beliau juga.

Malam itu saya disuruh ke sana, "Oh gitu ya?" Ya sudah saya datang ke sana.

Terus ternyata itu tes, Pak. Saya nggak tahu itu dites. Jadi dikasih lagu, saya disuruh nyanyi, tes.

Terus mereka langsung, "Oke ya." Ya sudah langsung dikasih tahu, "Tom, lusa ke Singapura yuk!" "Wah paspor belum punya," saya bilang gitu.

Orang kampung nggak ada paspor. - Panik tuh? - "Ya sudah besok bikin deh," katanya gitu.

Tiba-tiba saya dihubungi, besok disuruh ke Bogor, bikin pakai ketangkap polisi karena kita ngambil jalur kiri, ya pokoknya banyak cerita.

Sampai akhirnya langsung berangkat ke Singapura. Dan itu kaget juga, karena yang jemput kan Pak Gita langsung. Itu pertama kali saya ke Singapura.

- Tapi luar biasa. Kalau saya lihat ya, itu, ya saya sudah ketemu banyak musisi waktu itu, tapi Anda punya kekuatan.

Pertama kali ke luar negri, tiba di Singapura, kita taruh di tempat, suruh konser.

Dan dari situ saya sama istri, sama teman yang nonton, ngelihat, "Gila nih orang." Iya kan?

Kedekatan dengan audiensinya walaupun dalam bahasa Inggris. Mohon maaf ya waktu itu agak-agak ...

- Kacau. Inggris saya parah sih. Cuma waktu itu saya mikirnya gini Pak, yang membuat saya jadi berani,

"Bob Marley aja Inggrisnya nggak bagus-bagus amat kog, bisa mendunia."

Jadi sebenarnya poinnya adalah bagaimana bikin orang ngerti walaupun dia ngerti dengan, ya Singlish kan nggak lebih bagus daripada Inggris Jawa juga.

Jadi saya pikir, "Berani aja deh." Lagian udah nanggung, udah di atas panggung.

Tapi benar Pak, abis kejadian itu, yang bikin saya melek justru waktu, kan Pak Gita nawarin saya rekaman album solo,

tapi sebelum album solo ternyata kita ngerjain yang Bali Lounge.

Nah pas Bali Lounge, take (pengambilan) vokal itu cuma 2 hari; dari bikin lagunya, bikin liriknya, sama take-nya cuma 2 hari sama Nicolas (Rastoul).

- Bruno (Le Flanchec), Marina (Xavier) ... - Marina bantuin buat ngebenerin pengucapan saya.

Itu sangat stress, setiap saya nyanyi, nadanya udah sudah benar, semua udah benar, bahasanya kagak benar.

Terus saya bilang, "Marina, udahlah, Bob Marley juga nggak ...."

"Iya tapi orang ngerti dia ngomong apa. Gua sih nggak ngarepin lu bunyinya kayak orang Inggris atau Amerika, tapi paling nggak, orang ngerti lu ngomong apa."

"Oh gitu, ya udah deh." Saya usaha lagi. Tapi benar, pulang dari situ, setidaknya di album terdengar lebih baik daripada aslinya.

Waktu kita tampil di Java Jazz, orang-orang ngira saya bukan orang Indonesia kan.

Terus ngomongnya pakai bahasa Inggris, gue jawab pakai bahasa Indonesia, aku jawabnya pakai bahasa Indonesia nih,

terus yang lucu tuh mereka, "Wah gila, dia bisa bahasa Indonesia."Padahal emang orang Indonesia banget.

- Saya di situ. Nggak lupa tuh. Gila! Inget gak pas waktu di rumahnya si Nicolas?

Lagi take, saya minta coba deh apa pengaruh-pengaruh Timur Tengah dikit. Iya kan? Kena loh.

Tapi nggak tahu gimana itu ya kalau saya lihat di awal-awal perjalanan karir musik Anda tuh kenekatan dan adaptasi itu luar biasa.

Dan itu kalau menurut saya bisa diaplikasikan ke hal-hal lain juga. - Iya, emang rada nekat sebenarnya.

- Kalau Bali Lounge kan sukses, tapi T jauh lebih sukses. Iya kan? Cerita deh gimana tuh metamorfosanya?

- Dalam hal di musik saya belajar dengan praktik.

Nah yang lucu lagi album itu kan saya, jadi waktu saya belajar, karena di Nicolas itu proses rekaman Bali Lounge itu benar-benar kita sebelah-sebelahan,

jadi saya ngelihat banget dia itu ngapain, "Oh ternyata ngerekam itu begini ya."

Pulang dari situ, saya beli software-nya, saya kulik sendiri. Album T, proses rekamannya kan kita masih minta Nicolas waktu itu,

karena saya masih ngerasa belum pede. Akhirnya dia datang, Pak Gita setuju saya produser waktu itu, dia datang, dia bantuin proses rekaman, kita take tempat Pak Gita kan.

- Iya. Saya lagi rapat tuh di kantor, dipanggil ma Anda sama Nicolas.

- Ya iya pokoknya gitu, intinya rekaman saya ngelihatin apa yang dia kerjain. Apa yang dia kerjain, dia ngapain aja, semua saya tulis, saya catat.

Terus begitu dia pulang, album T selesai, saya belajar. Setelah itu semua albumnya saya kerjain sendiri, Pak.

Album saya berikutnya sampai yang terakhir, saya kerjain sendiri; proses take sampai raw mix (rekaman yang belum diedit) saya kerjain sendiri.

Dari raw mix baru saya kasih ke mixing engineer, untuk tolong kerjain, perbaikin dari yang saya bikin, saya mau audionya begini, tapi versi rapihnya.

Karena kan harus dipotong-potong, nggak benar, dirapihin. Dan saya nggak punya banyak waktu untuk itu, jadi raw mix saya kasih buat panduannya.

Dan sejauh ini ya itu proses belajar. Jadi ngelihat, memperhatikan, dan benar-benar saya tempelin. Jadi saya nggak pulang, 3 hari di studio, 3 hari saya nongkrongin.

Padahal paginya saya sekolah. Sore saya kejar lagi ke situ. - Gimana menyeimbangkam antara sekolah dengan musik waktu itu?

Mungkin Anda lupa ya saya pernah ngomong, "Tom, pokoknya Anda kayaknya bakal meledak nih, tapi jangan lupa nyelesain sekolah."

- Justru gara-gara Pak Gita ngomong gitu makanya sekolah saya selesai. Ya saya melihat Anda.

- Sama, saya melihat Anda juga. - Saya melihat Pak Gita tuh dari jaman Pak Gita cerita waktu kita beberapa kali ketemu di Singapura,

Pak Gita sempat bilang, "Saya bakal jadi mentri nih." - Lagi mabok kali ngomong gitu.

- Enggak. Sadar banget sih. "Saya akan pulang ke Indonesia dan bakal jadi mentri."

Saya nggak tahu Pak Gita inget nggak ngomong gitu. Tapi yang pasti itu nempel banget di kepala saya.

Saya harus belajar, bukan antusias, mungkin apa ya, apa kalimat yang tepat untuk itu ya, kayak yakin gitu, kayak punya satu keyakinan.

- Determined (tekun). - Iya, mungkin itu kata yang lebih tepat. Dan kejadian kan, Pak. Dan pada saat Pak Gita jadi mentri, saya nggak berani mendekat.

Saya nggak pernah datang ke Pak Gita, kecuali yang urusan musik itu doang. - Iya, urusan hak cipta.

- Tapi di luar itu saya nggak berani mendekat. Karena saya nggak mau bahwa orang lain itu mikir, "Wah mentang-mentang Pak Gita jadi mentri, saya jadi nempel terus punya kepentingan pribadi," saya nggak mau.

- Padahal saya berharap banget Anda bisa datang. - Terus pas acara yang itu kan Pak, kita bikin sekali yang musik itu.

Jadi memang semua ada prosesnya. - Gimana Tom, menyeimbangkannya?

- Ya mungkin karena itu, Pak. Kan orang bilang, "Kalau lo suka ngerjain sesuatu yang lo suka, lo gak akan ngerasa capek." Ya buktinya mungkin itu.

Karena saya senang musik, saya bisa nggak tidur. Padahal pulang jaga itu udah capek banget. Itu saya kerjain sambil sekolah Kedokteran yang semua orang tahu capeknya sekolah Kedokteran itu keterlaluan capek banget.

Dan saya kan nggak bisa cabut, kalau cabut ketahuan, dan bisa nggak lulus. Saya nggak bisa cabut.

Jadi kewajiban sekolahnya harus beres. Pulang dari situ, orang lain tidur, saya ngerjain musik.

Tapi memang karena suka, ya nggak ngerasa capek. Padahal badannya mungkin udah dihajar gila-gilaan.

Ya itu, asal suka aja. Setiap orang nanya, "Kog bisa sih seimbang?" Harus suka, kalau nggak suka nggak mungkin.

Jadi kayak ngerasa dijajah ya, karena terpaksa. - Ini mulainya dengan keingintahuan, terus kesukaan, kecintaan, terus sampai sekarang ditekuni kan?

Itu sama dengan fotografi, sama dengan produksi film, sama dengan kedokteran. Kedokteran tuh sama seperti menekuni musik?

- Pada akhirnya iya. 3 bulan pertama sekolah, saya agak ... Jadi waktu dapat pengumuman UMPTN lulus FKUI, saya senang.

Senangnya karena lulus FKUI-nya sih, bukan karena masuk (jurusan) Kedokteran. Maksudnya, semua orang pingin masuk, eh tiba-tiba ada anak kampung lulus nih.

Dan saya UMPTN-nya di Bandung. Ini ada cerita lucu sedikit, Pak. Sebelum sampai ke situ ya.

Di Aceh, saya ikut kan kalau bimbel itu ada tes UMPTN, tes pura-pura (simulasi) gitu. Itu rangking saya selalu bagus, Pak.

Rangkingnya bagus, masuk 10 besar se-Aceh. Kita cukup pede lulus UMPTN. Selesai EBTANAS saya langsung lari ke Bandung, ikut bimbingan tes di Bandung.

Bareng kita bersepuluh rombongan satu sekolah. Ikut bimbingan di Sony Sugema College dekat ITB di Sumur Bandung.

Minggu pertama, kita dites semuanya; try out. Tes, selesai, kayaknya bisa, wah masih gapek bisa.

Pengumuman Jumatnya, saya cari di papan pengumuman yang dipasang dari ujung ke ujung gitu, saya cari di papan pertama.

Kan kalau di Aceh nama saya di awal. Saya cari, nggak ketemu, papan terakhir, paling bawah, nah itu nama saya.

Wah saya langsung kaget, "Waduh kog kemarin kayaknya saya..." Kalau saya terlalu eforia sama itu, untung itu kejadiannya begitu.

- Reality check (sadar). - Wah itu saya langsung pulang, langsung bawa buku, nggak ada ke mana-mana, langsung baca setiap hari, udah kayak orang gila.

Selesai bimbingan tes, kita nongkrong di Perpustakaan ITB, belajar lagi sampai sore, baru pulang. Malam, habis sholat, makan, baru belajar sampai subuh.

Sebulan itu udah kayak orang gila. Tes UMPTN, saya tes di Bandung, makanya pas pengumuman lulus, saya senang banget.

Nggak tahu rangking berapa, tapi yang pasti lulus di FKUI. - Berapa kali episode kayak begitu, Anda kayaknya udah pede, terus kepleset, terus bangkit lagi?

- Kalau akademik mungkin itu sih Pak. Kalau non-akademik, waktu lomba baca puisi.

Jadi saya dulu itu jaman SMA kalau baca puisi, nama saya pasti salah satu yang terdepan. Jadi di sekolah pun guru sangat percaya, "Ada Tompi nih."

Jadi satu waktu kita ada perlombaan se-Aceh. Sombongnya itu begini, ngelihat Tompi masuk, "Wah udah pasti dia nih juaranya nih. Yang lain pasti enggak nih."

Wah arogansi itu di kepala saya besar sekali. Saya masuk ruangan dengan pongah, "Udah pasti gue menang."

Karena yang lain tuh semua saya yang ngajarin. Bahkan teman-teman saya aja, "Tom, tar gua bacanya gimana nih?"

Jadi mereka mereplika apa yang saya kerjain. Jadi pas lomba tiba-tiba lupa. Dan saya nggak menang. Anak buah saya menang, dia juara 1. Yang saya ajarin juara 1,

saya masuk final aja kagak. Itu benar-benar tamparan. Sejak saat itu benar-benar kayak Tuhan itu negur, "Lu jangan kegedean kepala."

- Oke, kalau kedokteran masih jalan kan? Musik masih jalan. Ini saya mau nanya Anda mengenai teman kita nih, almarhum Glenn (Fredly).

Dia orang besar. Seorang teman baik. Saya ingat tuh yang bawa Angga (Sasongko) ke saya itu Anda dan Glenn.

Yang ngerekomen saya ke Glenn untuk rekomen Angga, itu Anda kan? Ceritain deh.

Ini lebih mengenai Anda loh, bukan mengenai saya. Tapi ini pertemanan Anda dengan Glenn, Sandi, Angga, ini kan luar biasa. Kreator-kreator konten yang luar biasa.

- Jadi saya kenal Glenn itu karena waktu Glenn mulai aktif-aktifnya memperjuangkan suara Timur.

Dia banyak bikin konser, segala macam. Kemudian dia telpon saya, minta saya bantuin buat acara itu, dan saya selalu bantu.

Tapi waktu itu kita belum dekat kayak saudara gitu. Baru mulai dekat banget itu waktu kita bikin Trio Lestari.

Saya telpon dia, "Glenn, gue ada proyek nih. Dan gue pikir lo harus jadi bagian dari gerakan ini."

"Wah, saya ikut!" Dia bilang gitu. Akhirnya kita ketemu. Begitu kita ketemu, dia kan emang orang dengan ide-ide gila.

Jadi langsung idenya keluar, "Tom, kita gini, gini, gini." Ide yang tadinya kecil, itu menjadi besar. Trio Lestari itu menjadi lebih besar daripada sebatas kita bermusik.

Jadi bukan lagi gerakan bermusik sebenarnya, Trio Lestari. Nah itu kita telurkan ke panggung, dll. Di situ saya makin dekat sama dia.

Dekatnya itu dekat banget. Tapi ada satu hal yang membuat saya sama dia itu nggak pernah, yang selalu saya jaga gitu, saya nggak pernah nanya, "Lo lagi dekat sama siapa sekarang?"

Saya nggak pernah sentuh-sentuh urusan asmara dia. Nggak pernah. Kayaknya itu yang membuat dia makin hormat sama saya. Saya nggak mau kepo.

Dia cerita, saya dengerin. Nggak, saya nggak pernah nanya. Nggak pernah saya cie-cie-in. Biasanya sama teman kayak gitu, Pak.

Ini enggak pernah. Mungkin itu yang buat dia makin dekat. Suatu waktu, kan jaman-jaman, nah ini berhubungan ke acara kenapa saya bisa mempertemukannya ke Pak Gita.

Mereka bikin film "Cahaya dari Timur". Duitnya abis. Glenn telpon saya itu jam 12 malam - jam 1 pagi. Saya sebel aja, udah tidur telat, jam segitu ditelpon.

Oh ternyata Glenn, ya saya angkat, "Kenapa Bre?" "Tom, boleh pinjam duit nggak 1M (miliar)."

1M loh Pak mintanya. "Wah gila lu Glenn. Gue sih duitnya ada, tapi tar gua kasih, lo bayarnya gimana? Tar kita jadi musuhan gara-gara ini."

"Nggak, tar gua bayar pokoknya. Tar gua bayar. Tar kalau filmnya laku, kan duitnya masuk tuh, tar kita bayar."

"Kalau kagak laku gimana?" Saya pragmatis saja kan Pak.

"Abis gimana, bantuin dong. Saya kasihan nih anak-anak udah di Ambon, udah beberapa hari, logistik abis nih. Harusnya kita ada dana dari ini, ternyata nggak jalan."

"Oh gitu ya." Saya jadi kepikiran kan Pak. "Gini Bre, coba besok gue pikirin ya gimana."

Pagi, nggak tahu saya langsung kebayang muka Pak Gita aja gitu. Kalau lagi ada masalah lu pikirin Gita Wirjawan.

Saya telpon si Glenn, "Bre, gimana kalau kita minta Pak Gita bantuin buat pendanaan?"

" Wah kalau itu jangan deh." Beneran Pak, dia bilang, "Kalau itu jangan."

"Kenapa?" Waktu itu Pak Gita masih jadi Mentri Perdagangan. "Kalau itu jangan deh." " Kenapa?"

"Iya, soalnya gua nggak sejalan sama pemikiran beliau untuk impor, dll."

Terus saya bilang sama dia, "Bre, gua rasa lo tuh nggak kenal deh, coba gini, gua aturin ya, gua ketemuin lo sama Pak Gita."

Karena Pak Gita kan pernah ngomong kan waktu itu, "Tom, saya pingin ngobrol deh sama ini, ini, ini. Nanti ketemu, mereka boleh nanya apa aja, saya akan jawab."

Terus saya bilang sama dia, "Begini Bre, gua aturin ya, kita ngopi-ngopi, santai-santai, lu ngomong sama Pak Gita, lu tanya apa aja,

kalau lu nggak suka, lu kode gua, langsung gua potong. Tapi kalau lu suka, lu lanjut." "Oh gitu ya. Bener nih nggak apa?"

"Ngak apa." Akhirnya ketemu kan Pak. Abis itu dia langsung bilang ke saya, "Wow, ternyata ni orang nggak seperti yang ada di kepala gua ya."

"Ya iya karena kepala lu nggak ke mana-mana," saya bilang gitu. "Lu bergaul sama 3 orang yang bilang Gita itu begini, begini, begini.

Harusnya lu konfirmasi. Bisa jadi 3 orang ini benar, tapi kan lu belum tahu yang sebenarnya benar atau enggak. Lu harus cek."

"Gitu ya? Ya udah deh." Akhirnya jadi suka itu Pak. Tapi belum ngomong masalah pendanaan nih. Terus Angga, itu juga sama tuh.

- Nggak usah ngomong mengenai pendanaan, tapi ngomong mengenai pertemanan dulu.

- Nggak. Tapi pemikiran mereka sama kan, "Kalau Pak Gita jangan deh." Ini penting sih, orang harus tahu bahwasannya kadang-kadang kita itu menilai sesuatu,

penilaian kita terhadap hal A, itu mungkin tidak terlalu baik, karena referensi yang kita terima tidak baik.

- Distorsi. - Kita nggak tahu ternyata ada hal lain kenapa itu terjadi. Bukan berarti keputusan itu benar, tapi itu adalah jalan terbaik pada saat itu.

Kan gitu kan Pak? Nah ini yang teman-teman saya ini dua orang ini pada waktu itu bersikeras, "Enggak. Pokoknya enggak."

Saya bilang, "Nggak bisa." Saya jelasin ke dia, "Bre, Pak Gita itu urusannya bukan nyiapin garam, produksi garam, tanamin padi, atau apa pun itu enggak.

Tugas Mentri Perdagangan itu mastiin barangnya ada. Kalau nggak ada harus mikirin gimana caranya ada.

Sambil minta ke yang tukang menanam, "Lu tanamin dong." Nanti kalau udah ada, dia beli, buat diedarin." Gitu kan Pak?

Sederhananya begitu. Ya sudah, "Gua ketemuin aja, lo ngobrol sendiri sama Pak Gita deh."

Nah intinya, pendeknya, begitu mereka ketemu, abis itu kan Glenn ajak Angga. Begitu udah ketemu, udah, kayak cocok gitu.

Mereka jadi lebih dekat sama Pak Gita daripada sama saya. - Minta ketemuan terus mereka.

- Nah kan, "Ternyata orang tuh mungkin ada hal yang memang lu nggak suka, tapi bukan berarti dia sepenuhnya salah," saya bilang gitu.

Pasti ada hal lain kenapa orang begitu. Tapi dengan kita tahu kan kita jadi memahami, Pak. Itu pelajaran termahal buat kita bertiga ini berhubungan dengan Pak Gita, itu salah satunya.

- Balik ke Trio Lestari. Glenn itu kan jiwanya kan, bagian dari jiwanya Trio Lestari. Ke depannya gimana nih tanpa Glenn? Sangat disayangkan.

- Justru jawabannya sebenarnya adalah jawaban itu adalah pertanyaan itu sendiri. Karena Glenn itu adalah jiwanya, badan bisa mati, jiwa kan nggak pernah mati.

Jadi kita tetap dengan semangat yang saat dia ada. Bahkan grup WhatsApp kita pun masih ada Glenn. Kita biarkan dia di sana.

Karena setiap kita ngomong bikin sesuatu, sekarang kita lagi ngerjain sesuatu, pertanyaan kita selalu, "Kalau Glenn ada, dia bakal setuju nggak ya?"

Jadi, mungkin raganya udah nggak ada, tapi pemikiran itu nempel terus. Dan dia udah nggak mungkin digantiin orang lain. Jadi paketnya begitu.

- Tak tergantikan. Luar biasa. Oke, kita ganti topik, Anda kan sibuk sebagai dokter bedah plastik, kedokteran, dan segalanya.

Ini kan kita lagi ngalamin sesuatu yang nggak pasti; COVID. Pandangan Anda gimana mengenai COVID secara global, secara lokal? Lebih dari 40 juta orang terkena, di Indonesia udah 300.000-an.

- COVID ini masalah yang sebenarnya buat siapa pun, bahkan negara yang maju sekalipun, pasti nggak siap.

Nggak ada yang siap menghadapi COVID. Tapi dengan kita mempelajari karakter COVID itu sendiri, seharusnya kita bisa memodifikasi cara kita hidup sekarang.

Nah itu yang saya lihat belum digalakkan sama negara. Menurut saya masih banyak kekeliruan yang dikerjakan oleh pemerintah pada saat ini,

yang niatnya sebenarnya baik, tapi tidak relevan. Jadi permasalahannya bukan di enggak ngapa-ngapain,

mereka udah ngapa-ngapain. Pemerintah itu bekerja. Cuma mungkin tidak relevan.

Ini ya, pemerintah tuh terlalu mendewasakan warganya, menurut saya. Berharap dengan kita kasih anjuran, mereka pasti paham.

"Tolong lebih begini, tolong lebih begitu." Orang kita kan nggak bisa digituin, Pak.

Jadi menurut saya, saat ini pemerintah perlu memikirkan bagaimana menyampaikan ide-ide mereka supaya terlaksana dengan baik.

Lebih ke situ sih. Idenya udah benar, tapi pelaksanaannya masih tanda tanya besar. - Vaksin gimana? Ada pandangan?

- Saya terus terang, ya tentu kita semua berharap vaksin itu ada, dan benar-benar bisa membuat kita kuat badannya terhadap COVID.

Tapi menurut saya, terhadap penyakit lain yang lebih serius yang udah lebih lama aja vaksin itu sesuatu yang sangat rumit.

Nah ini COVID barang baru, tapi sudah terlalu digaung-gaungkan bakal ada, itu menurut saya agak beresiko.

Sebenarnya gini, maksudnya mungkin baik, Pak. Saya pernah nanya ke Pak Jokowi langsung, bertanya sambil memberikan kritik waktu itu, pas saya ketemu di istana.

Saya bilang, "Pak, maaf, kalau boleh saya memberikan masukan. Bapak beberapa kali ngetweet tentang Indonesia akan produksi vaksin pada bulan sekian,

dan semuanya nanti akan disuntik pada bulan sekian. Optimisme yang mungkin baik maksudnya, tapi hati-hati, Pak.

Anda ngomong seolah-olah itu pasti terjadi. Jika itu nggak terjadi, tahu sendiri deh mulut netizen. Nanti akan dibilang seolah-olah Anda pembohong, penipu."

Padahal maksud beliau menenangkan rakyatnya, "Ayo tenang, kita nih udah ada vaksinnya."

Tapi mungkin cara penyampaiannya jangan terlalu, "Wah 100% pasti bisa." Karena vaksinnya aja belum ketemu. Waktu beliau ngomong itu, vaksinnya aja belum ketemu.

Nah yang mempersulit, Pak, virus ini bermutasi dengan cepat. Vaksin itu seperti kunci dan lubangnya, harus sesuai.

Begitu ada patah sedikit, nggak bisa masuk, nggak bisa ngunci, nggak bisa ngebuka. Vaksin juga begitu.

Dia mungkin oke buat jenis yang ini; yang A. Begitu A-nya udah jadi A+, atau apalah namanya, udah nggak bisa.

Nah sejauh ini aja serotipe udah banyak banget. Nah kita kan belum nemu vaksin untuk semua serotipe. Apa semuanya mau dikasih, kan nggak mungkin juga.

Jadi bukan saya pesimis, tapi ... - Harus realistis. - Iya, realistis dan kita lebih berhati-hati.

Supaya jangan sampai niat baik untuk optimisme yang ingin disebar, malah menjadi seolah-olah begitu nggak kejadian,

dianggap kita yang berbohong. - Ini kalau ngomong vaksin kan ada beberapa tahapan. Yang pertama, tentunya produksi.

Kedua, komersialisasi. Ketiga, keterjangkauan. Keempat, distribusi. Kelima, eksekusi.

Ini kan setiap fase pasti banyak ketidakpastian kan? - Kita tuh masalah terbesar masih di produksi kan Pak.

Mau diproduksi nggak? Maksudnya di eksperimen aja belum jelas. Terakhir saya baca kemarin beritanya di Tiongkok,

beberapa vaksin yang udah dicoba disuntikkan, itu bikin orang mati. Dilaporkan ada angka kematian setelah pemberian vaksin.

Entah itu vaksin yang sama yang dimaksud apa enggak, saya nggak ngerti detilnya. Tapi menjual vaksin itu nggak segampang jualan pisang goreng.

Jadi nggak bisa buka warung, "Saya jual vaksin", itu nggak bisa.

- Insya Allah produksinya ini kinclong. Iya kan? Tapi masih ada tahapan-tahapan yang lain kan?

- Selama uji klinisnya udah lewat, produksi itu hal kecil. Yang penting sekarang uji klinisnya benar nggak?

Nah produk itu uji klinis. Kalau obat-obat yang baru, itu bisa lama sekali. Nah ini kan dipercepat, karena ngejar pandeminya.

- Nah itu gimana ada ketergesa-gesaan gak? - Sekarang sih yang tercium begitu ya, terkesan dipaksakan.

Tapi kan nggak tahu apakah itu sebenarnya udah dikerjakan dari jauh-jauh hari sebelumnya, itu kita nggak tahu.

- Saya coba ngitung dengan margin of error (batas kesalahan) di beberapa, di setiap tahapan ini. Ujung-ujungnya, oke, anggap ini sempurna, uji klinisnya,

produksinya sempurna, terus komersialisasinya agak-agak sempurna, terus distribusinya mungkin bisa dikirim ke Wamena,

tapi di Wamena ada perawatnya nggak yang bisa nyuntik? - Kalau itu sih saya rasa nggak ada masalah, Pak.

- Nggak ada masalah? - Nggak ada masalah. Karena pekerjaan menyuntik itu kan kayak orang imunisasi aja.

Kita udah terbiasa dengan imunisasi. Untuk di level itu saya rasa mudah, jauh lebih mudah. - Yang realistis berapa orang yang bisa divaksin sehari?

- Saya nggak tahu. - Kalau yang saya hitung itu kurang lebih 300-400ribu per hari. Kalau bisa sejuta, ideal. Tapi saya nggak tahu.

- Orang se-Indonesia? Saya rasa bisa, Pak. - Oh ya? Kalau gitu bagus dong.

- Karena nyuntik itu kayak orang milih di KPU aja. Ilmu nyuntiknya nggak ada ilmu khusus.

- Oke, jadi orang awam bisa dilatih kalau kurang perawat, dokter, dsb? - Iya. Tapi nggak mungkin, pasti akan dokter atau perawat.

Jumlah kita saya rasa masih kalau sebatas hanya untuk nyuntik, saya tidak ragu dengan itu. Karena nggak ada sesuatu yang agak berat.

Tapi justru sekarang polemiknya, barangnya benar nggak? - Produksinya?

- Masalah terbesarnya di situ sih pak. Produksinya benar nggak?

- Nah, bayangan Anda normal baru tuh gimana sih, dengan ketidakpastian beberapa hal?

- Sebenarnya tidak jauh dari yang sudah kita kerjain, Pak. Jadi memang kita harus jaga jarak, seperti kita gini... karena kita sudah tes ya. Saya sudah dites, Pak Gita sudah dites.

Dan kita negatif, maka saya berani buka (masker)

Tapi pun demikian kita tetap jaga jarak setidaknya 2 meter lebih. Supaya kalaupun ada droplets (percikan air ludah), ataupun misalnya kita OTG (Orang Tanpa Gejala) ternyata, kita masih aman.

Ya memang harus ke situ, jaga jarak, terus maskeran, cuci tangan, makan yang benar, termasuk vitamin D. Indonesia itu kebanyakan vitamin D-nya itu rendah.

Nah ini kata istri saya, kebetulan nutrisi klinik, saya suka ngobrol tentang itu. Jadi harus dicek. Kalau vitamin D bagus, biasanya imunnya bagus.

Jadi orang kan cuma mikir vitamin C doang, nah ternyata ada vitamin D yang sangat penting untuk imun badan.

Terus hal-hal lain yang kita harus ubah adalah pelayanan publik. Ini yang belum kesentuh dengan detil. Sejauh ini saya melihat pemerintah hanya memberikan anjuran.

Ini yang saya kritisi juga kemarin waktu saya ketemu Pak Jokowi. Kebijakan yang dibikin pemerintah itu masih terkotak-kotak, masing-masing bergerak sendiri-sendiri.

Seharusnya, misal dari Departemen Dinas Perhubungan, atau yang mengatur tenaga kerja pabrik, dll.

Kan kita sekarang nggak batasin supaya orang nggak kumpul rame di sebuah ruangan. Bayangkan sebuah perusahaan tekstil,

yang kerja bikin baju gitu ya, itu kan orangnya rame. Nah kalau pemerintah tidak memaksa jam kerja,

karena mereka ngejar setoran, harus produksi sekian ribu potong dalam satu minggu misalnya.

Selama ini kuota segitu dikerjakan oleh 500 orang yang masuk bersamaan dari jam 9 pagi - 5 sore.

Kalau pemerintah tidak memaksa orang-orang ini harus digilir, ya berarti kan lonjakan mulai dari mereka berangkat dari rumah udah numpuk, di tempat kerja juga numpuk.

Jadi menekan laju penyebaran penyakit ini akan lebih sulit. Jadi pemerintah nggak cukup hanya memberikan anjuran pergaulan itu harus dengan yang seperti sekarang didengungkan.

Jadi harus ada regulasi, "Di kantor harus orang yang masuk kantor itu dari jam sekian - jam sekian itu sekian orang," jadi udah detil ngomongnya.

Perusahaan ini yang 500 karyawan, karena dia ngejar setoran, artinya jam kerja nambah kan Pak. Jadi yang tadinya jam 9 pagi - 5 sore, mungkin jadi 9 pagi - 9 malam.

Ada 2; jadwal pagi dan jadwal malam. Orangnya dibagi supaya kuota tercapai, tapi jam kerjanya jadi terbagi. Nah itu yang belum diatur.

- Tapi ini ngaruh ke ekonominya cukup loh. - Iya banget lah Pak. Contoh, bioskop. Bioskop dipaksakan untuk dibuka di Jakarta.

Kuotanya hanya boleh 25%. Saya ngomong sama teman saya yang punya bioskop, dia bilang, "Wah nggak bisa buka juga, Mas. 25% kita nggak nutup. Buka itu masih rugi."

Penuh aja mereka masih rugi. - Dia nyalain AC-nya nggak bisa 25%. - Itu jadi emang nggak bisa.

Menurut saya, selama vaksinnya belum jelas, terus penyakit ini belum tereradikasi dengan sendirinya, semua pelayanan umum seperti itu, pasti akan gantung diri sih.

- Kita udah ngelihat atau ngomong mengenai ketidakpastian beberapa tahapan tadi kan.

Belum lagi kalau ada penjangkitan yang kedua. Belum lagi kalau ada mutasi yang bisa lebih ekstrim.

Dan yang saya dengar itu sampai sekarang aja menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), belum diketahui kenapa SARS itu tiba-tiba hilang

di bulan Agustus atau September tahun 2003. Kan munculnya Oktober 2002. Tapi sampai sekarang belum ketahuan.

Itu misterius sekali. Dan ini kan COVID-19 mutasi dari SARS.

Ya kita perlu dong kepastian kalau yang sebelumnya ini semestinya udah ada solusinya, kalau yang sekarang solusinya apa, terus nggak menjamin nggak bisa terjadi mutasi lagi yang lebih ekstrim.

Nah itu harus diinkorporasi dalam, ya kalau kita di bisnis kan ada proyeksi keuangan. Asumsi-asumsi seperti itu harus diletakkan.

Nah itu masih goyang semuanya. Gimana tuh? Di bisnis kan di ekonomi yang diinginkan kan kepastian, bukan ketidakpastian.

- Ya itu PR-nya - Kenormalan barunya ini belum kebayang bentuknya, kalau menurut saya.

Dan saya tetap berpegang, oke, asumsi 300-400ribu orang tervaksinasi per hari, sebulan 9 jutaan, setahun 100 jutaan.

- Kalau vaksinnya uda ada, saya rasa masalah selesai, Pak. - Masalah selesai ya.

- Iya. Kalau vaksin udah ada. Kalau itu berjalan ya. - Kalau itu berjalan, pemulihan ekonomi bisa cepat sekali.

- Tapi kalau misalnya enggak, ya maksud saya, sejauh itu tidak, yang harus kita modifikasi adalah cara hidup kita.

Saya sempat pemikiran nih kebetulan saya lagi mengembangkan klinik, kita lagi pingin bikin cabang banyak dari klinik kecantikan yang saya punya.

Ya terus ngobrol sama beberapa teman yang mempertanyakan, "Nanti keamanannya gimana?" Karena mumpung ada masuk gym, dll. Kan kayak gym sekarang mati di mana-mana.

Padahal sebenarnya kalau mereka mau repot sedikit, ya mungkin. Toh kita udah dapat melakukan pemeriksaan orang yang datang.

Nah separasi tempat harus per alat. Bahkan bioskop kalau menurut saya sih kalau memang mau tetap ada bioskop. Kan bioskop tertutup itu Pak.

Jadi di dalam itu harus udah ada gelas-gelas kecil yang membatasi ... - Akrilik?

- Iya. Mau tidak mau. Kalau memang masih mau menikmati layanan bioskop layar lebar begitu ya. Jadi kita duduk udah terpisah.

Dan semua tempat itu udaranya udah keluar semuanya. Begitu dia keluar langsung desinfektannya nyemprot.

- Kayak di pesawat kan ada sirkulasi? - Iya. Jadi memang harus udah begitu. Kalau kita memang masih berharap hal itu ada.

Kalau enggak ya selama vaksinnya nggak ada, ya udah kita kalah terus sama keadaan.

Yang repot kan sekarang ini, ya sama kayak yang negara kita hadapi; ekonomi dulu atau kesehatan dulu?

- Kesehatan. Kalau saya sih kesehatan. - Iya kan. Dua-duanya kan ribet nih sekarang.

- Anda yang mana, kesehatan atau ekonomi? - Saya sih dari pertama teriak lockdown (pembatasan sosial), Pak.

- Iya. Setuju. - Cuma permasalahannya memang begitu udah pembatasan sosial bukan pembatasan sosial yang ekstrim ya.

Misalnya pmebatasan dalam arti kita benar-benar membatasi semuanya dengan cara yang benar-benar ditekan supaya yang nggak perlu benar-benar nggak usah.

Dan ada fasenya saya benar-benar mengkarantina saya dan keluarga selama hampir 2-3 minggu itu di awal-awal.

Cuma akhirnya kita keluar juga dan kayaknya nggak mungkin juga sih begini. Karena negara kita nggak siap sih, Pak.

Kalau dibatasi, ya pasti akan memperburuk ekonomi. Udah pasti itu. Tapi dibelain ekonomi, orang pada mati.

Dan akhirnya akan ... jadi emang udah kayak ayam-telur atau telur-ayam sih. Tapi emang harus berani pemerintah. Dalam hal ini harus berani ngambil apa, gitu.

- Apa sih yang beda antara apa yang kita lakukan dengan yang Taiwan lakukan, Tiongkok lakukan, Vietnam lakukan?

- Taiwan itu cenderung, ini menurut saya ya Pak, cenderung orangnya itu setipe. Kalau dibilang enggak, manut semua ngikut enggak.

Jadi saat dibilang, "Jangan keluar rumah," diam semua. Itu, proses berpikirnya lebih dewasa. Nah kita belum di level itu. kita tuh terlalu beragam.

Beragam suku, beragam jarak, beragam pulau, beragam kebiasaan. Budayanya beda-beda. Kita bilang, "Jangan keluar rumah" di Madura, kita yang mau dibacok.

Itu yang kita lihat di televisi kan. Disuruh pulang, kita yang dimarahin. Jadi memang itu yang membedakan.

Jadi jangan dipakai cara negara lain menganjurkan warga negaranya untuk A,B,C,D,E, kita juga mengajurkan.

Nggak cukup dengan anjuran kalau di sini. Harus ada sesuatu yang lebih tegas.

Cuma kan, saya pernah ngomong, Pak Jokowi juga saya bilang, "Pak, kenapa tidak dibikin aturan Perpu, misalnya? Supaya lebih tegas.

Misalnya entah itu tentara atau polisi dilibatkan untuk menjaga."

"Udah, kita udah coba pingin gitu, saya minta polisi untuk ini, tapi nggak boleh karena UU-nya, itu kan ada HAM, dsb, nanti terlanggar."

"Ya kalau gitu jangan dipukulin, nggak usah ditangkap, karena kalau ditangkap repot juga ngurusinnya. Tapi setidaknya ada yang patroli buat mengingatkan."

Kalau misalnya yang ngingetin saya, saya yang dimarahin. Kalau yang ngingatin aparat kan memang udah tugasnya.

Sekarang kalau akhir pekan, saya lihat udah mulai banyak aparat sama tentara atau polisi yang megang spanduk, ngingetin orang yang nggak.

Saya setiap pagi sepedaan sekarang, Pak. Jadi sering ngelihat mereka negur. - Terus dirazia kalau nggak pakai masker atau apa.

- Harusnya itu dari awal dikerjain. Sekarang lebih baik daripada enggak sama sekali.

- Tom, kalau ngobrol mengenai genetika, gimana pandangan Anda? Ini ilmunya istri ya.

- Ilmu istri saya sebenarnya Pak. - Nggak apa.

- Tapi beberapa kali saya diskusi, kan kita lihat di film-film sekarang tentang bagaimana rekayasa genetika.

Dan sebenarnya semakin mendekati ke arah bakal kejadian sih. - Sudah.

- Di Thailand, orang mau makan apa udah bisa dibikin direkayasanya. Mereka yang tadinya nggak bisa menanam tumbuhan tertentu, sekarang udah bisa menanam itu sepanjang musim.

Thailand itu nggak ada musim buah. Kita ada musim buah kan Pak? Di sana mangga bisa terus-terusan ada, dan mangganya bagus.

Saya di Thailand beberapa kali sampai mereka bingung ngelihat, "Kog bisa ya?" Bintik-bintik aja nggak ada tuh. Kulitnya bisa bersih kayak lukisan, ini benar buah-buahan tau enggak.

Sementara kita di sini kan pisang kita banyak bintik-bintiknya. Makanya, mereka itu agrikulturnya udah ada rekayasa.

- Perlu kan kita begitu? - Iya harusnya kita ngejar dong ke sana. - Kenapa enggak?

- Nah itu harus ditanyakan ke Mentri Pertanian kita sih Pak. Kenapa rekayasa kita di pertanian belum segencar yang di sana.

Atau sebenarnya udah ada, tapi yang bagusnya diekspor, yang bintik-bintiknya kita yang makan di sini, saya nggak tahu juga.

Pak Gita yang lebih tahu itu. Kalau dulu pisang kita diekspor nggak keluar, Pak? Ke Singapura, misalnya.

- Ada, tapi skalanya nggak sebesar apa yang dilakukan Meksiko atau Filipina.

- Karena kan kalau kita ke super market, kita beli pisang impor, pasti kuning bersih. Pisang lokal, pisang ayam kita itu pasti bintik-bintik.

Walaupun rasanya enak, tapi saya nggak ngerti juga, apakah bintik itu menandakan penyakit, pertumbuhannya nggak sehat, atau saya nggak ngerti juga sih.

- Yang keren kalau di bandara Bangkok di sebelah Duty Free, itu kan toko-toko buahnya sempurna.

- Pinggir jalan aja bagus, Pak. Dan manisnya bukan main, Pak. Manis banget.

- Apa yang sudah dilakukan dengan buah-buahan itu juga sudah dilakukan dengan manusia.

- Iya. Sekarang itu sudah, jadi kalau di bidang saya bedah plastik sangat berkembang sekarang adalah stem cell treatment (terapi sel induk).

Di Indonesia sayangnya, setahu saya, sampai sekarang belum keluar regulasi stem cell itu diperbolehkan sebagai terapi harian.

Masih boleh sebagai eksperimental di pusat pendidikan, tapi kalau buat terapi belum boleh.

Ini yang terakhir kan ditangkap itu di Kemang. Tapi kalau di luar negri, terutama Eropa itu udah mulai gencar banget.

Amerika belum. Amerika regulasinya masih ketat juga, stem cell belum bisa semena-mena.

Tapi kalau di Eropa itu sampai, kan banyak kita dengar petinggi di sini, Pak. Beberapa mentri jaman dulu tuh mungkin eranya Pak Gita

yang terbang ke Jerman untuk ngambil stem cell domba untuk disuntikin ke badannya. - Tiongkok juga.

- Ya. Saya sih ketawa aja. Karena menurut saya itu agak-agak, itu konsepnya agak berlawanan dengan konsep nggak konsisten, kalau menurut saya.

Manusia itu diciptakan dari sebuah stem cell, sel benih, sel punca. Yang kalau dia nanti jadi rambut, jadi tulang, jadi jantung, jadi otot, segala macam itu dari satu sel itu.

Teori embriologinya itu begitu, Pak. Kita sama domba kan udah pasti beda. Jadi kalau diambil dianalogikan dari sana tuh kog kayaknya agak kejauhan.

Mau dimodifikasi dari apa pun. Tapi kalau dari sel dia sendiri dimodifikasi itu mungkin. Dan itu sudah mulai banyak penelitiannya sekarang.

Makanya udah mulai banyak, kalau di Singapura udah udah ada bank organ buat tali pusar dan plasenta, kirim ke sana, kita bayar setiap tahun,

itu tujuannya sewaktu-waktu kita butuh, itu kaya dengan stem cell. Dua organ itu kaya dengan stem cell.

Ternyata sekarang pada badan kita yang dewasa ini pun ada stem cell-nya. Di fibroblas kulit itu masih ada.

Di lemak, itu masih ada stem cell. Di PRP/plasma darah masih ada stem cell. Cuma memang jumlahnya tidak banyak. Tidak sebanyak pada plasenta atau tali pusar bayi.

Nah itu yang sekarang lagi dikembangin. Jadi saya sendiri ngerjain. Misalnya kita verifikasi, terus diproses.

Cuma memang kita nggak bisa aplikasikan secara luas. Karena sebagai terapi belum diperbolehkan oleh regulasinya.

- Tapi gini Tom, di setiap tubuh manusia itu kan ada yang namanya genom kan. Di masing-masing genom itu ada 21.000-23.000 gen plasma pembawa sifat.

Ini kan kalau kita baca atau dengar ini udah mulai dilakukan rekayasa-rekayasa terhadap pemetaan gen, bisa dilakukan penyuntingan, dan segalanya.

Bahkan pengurutan genomnya itu bisa dilakukan dengan harga yang jauh lebih rendah daripada dulu.

Itu untuk kepentingan mempengaruhi perbaikan atau kebaikan manusia ke depan itu dari ilmu kedokteran itu gimana Tom?

Ini kan agak interseksi dengan moralitas, spiritualitas, dll. Pandangan Anda gimana? - Itu emang susah Pak.

- Kalau saya ngutip Anda ya, Anda kan nggak mau memperbaiki sesuatu kalau memang tidak perlu diperbaiki. Iya kan?

- Iya. Itu emang susah. Menjawab pertanyaan itu susah. Karena pada dasarnya manusia pasti pingin yang baik-baik.

Kalau ternyata itu bisa direkayasa dengan gen pembawa karakter ini atau pembawa hal ini bisa dipotong, tentu orang pada mau.

Cuma apakah itu, ya balik lagi nanti pasti akan bertabrakan dengan masalah moralitas dan spiritual/agama.

- Ngeri, tapi agak-agak perlu. - Cuma kan di kedokteran itu isunya adalah "Jangan menantang Tuhan" kan. Ke sana sih arahnya sebenarnya.

- Betul. Tapi bedanya itu dengan ngasih orang Panadol apa? - Oh beda, Pak.

Kalau Panadol itu kan kita menyesuaikan tubuh kita, supaya menurukan tempratur, respon kita terhadap...

- Kita melakukan penyesuaian terhadap kode genetik. - Tapi itu tidak mengubah indungnya.

- Oke, ini lebih ke pengobatan ya kalau Panadol. Oke. Mengembalikan ke struktur sebelumnya.

- Iya. Jadi itu yang kita sentuh itu respon badan kita. Kalau ini enggak, indungnya yang diubah, indungnya yang dimodifikasi.

Dan penelitiannya pasti bakal rumit karena kita nggak tahu stabilitasnya. Itu kalau mau dimodifikasi begitu; apakah ke depannya lebih rentan nggak?

Bisa bermutasi nggak menjadi yang lain-lain? Ke arah situ. Nah itu penelitiannya belum selesai Pak.

Karena mau meneliti aja pasti yang sekarang neliti kan pasti sembunyi-sembunyi tadinya. Begitu udah hasil, "Oh ternyata bisa nih," baru berani publikasi. Kalau nggak bisa, pasti dia nggak publikasi.

Keburu ditangkap. - Kalau di beberapa negara, regulasinya tuh agak-agak liberal mengenai hal-hal seperti itu.

- Eropa. - Dan di Asia juga ada beberapa.

- Tiongkok mungkin ya? - Pasti. Kan kalau tiba-tiba mereka bisa menciptakan kode genetik yang mana orangnya itu IQ-nya 800, tingginya 2 meter,

bisa main basket kayak LeBron James, gimana kita bisa bersaing dengan mereka? Terus tiba-tiba kita masuk ke ruangan bernegosiasi untuk kerjasama ekonomi multilateral.

Ya kita kebanting, karena mereka lebih efisien, lebih produktif, dibanding kita. Itu gimana level playfield-nya?

- Kalau emang sampai kejadian kayak gitu, ya udah pasti akan kalah.

- Ini secara empiris sudah ada studi dan aksi di laboratorium untuk meningkatkan IQ orang. Dan secara matematis itu meningkatkan IQ orang ke 1000 itu bisa.

- Oh ya? - Sangat bisa. Dengan genetic recoding; kalau kita mau makhluk atau manusia supaya dia main golfnyakayak Tiger Woods.

Saya pernah ngomong itu pelari dari Etiopia dan Kenya, itu sebetulnya kan ada anomali di mana hemoglobinnya itu lebih banyak

sehingga dia bisa mentransportasi oksigen lebih banyak dari paru-paru ke sel darah. Nah itu bisa direkayasa.

Jadi kalau kita mau pelari-pelari kita menang di olimpiade, kita bikin aja anomali seperti itu supaya produksi hemoglobinnya lebih banyak.

Saya paham yang Anda katakan tentang "menantang Tuhan." Tapi kalau negara-negara lain udah melakukan hal-hal seperti itu, pusing loh kita.

Mungkin kita nyanyi aja. Kita nggak bisa berkompetisi dalam konteks sains atau ekonomi atau apa.

- Rekayasa genetika kan nggak sebatas sains doang, Pak. Bahkan ke bakat nantinya. Karena bernyanyi pun nanti akan ada pemetaannya.

Kayak talenta musik itu udah ada, di genetik udah ada petanya tuh, pengurutannya. - Kita bisa mengurutkan genomnya Anda.

Terus nanti kita bikin Tompi kedua, bahkan Tompi kuadrat supaya suaranya bisa lebih tinggi. - Itu ngeri kalau sampai beneran.

Pertanyaan itu sama seperti ... - Tapi gini loh Tom, konteksnya kan gimana supaya Indonesia bisa jadi bangsa yang keren tahun 2045.

Gimana? - Kalau saya sederhana Pak. Benerin aja dulu pendidikan.

- Setuju. - Pendidikan itu masih PR terbesar bangsa ini.

- Kalau menurut saya, pendidikan kita tuh terlalu banyak ilmu sosial, kurang ilmu empiris. Yang mau jadi dokter itu nggak sebanyak yang kita inginkan.

Yang mau jadi astrofisikawan nggak sebanyak yang kita inginkan. - Kalau saya melihatnya ...

- Semuanya mau ngobrol politik doang. - Lebih dasar dari itu sih Pak. Kalau menurut saya Pak Gita udah terlalu kejauhan. Saya lebih dasar lagi.

Karena saya dulu ngerasain SD di SD Negri, kurikulum negri kan Pak. Terus SMP, SMA, sampai saya jadi dokter.

Terus saya mengingat-ingat lagi, "Dari yang saya pelajari bermanfaat nggak sih sebenarnya?" Kebanyakan enggak. Masalahnya adalah

semua guru-guru saya, merasa pelajarannya lebih penting dari pelajaran lain. Guru PPKN merasa harus jago PPKN-nya, sama pentingnya dengan Matematika.

Guru Olahraga aja begitu. Jadi semua merasa penting. Akhirnya yang jadi beban si anak didik. Di kita itu sistem pendidikan bukan karena, "Lo mau tau apa, lo pelajari ini."

Bukan gitu. Pelajarin aja dulu semuanya, nanti baru tentuin mau jadi apa. Kasihan kapasitas otaknya udah keburu jenuh.

Itu yang harus diubah. Nggak gampang, karena memang akan terkesan kayak disesuaikan ya, tapi kan bisa dibikin pengelompokan.

Kalau bikinnya per individu, nggak mungkin. Tapi kalau dengan pengelompokan/grup, pasti mungkin.

Dan sekarang di sekolah internasional udah diterapin. Di salah satu sekolah yang saya tahu, dikembangkan oleh Mbak Najeela Shihab,

di (sekolah) Cikal, mereka udah kerjain itu. - Peer-group (kelompok teman sebaya)?

- Iya. Jadi anak itu dikelompokkan sesuai dengan kecenderungan mereka belajar dengan apa.

Anak yang senangnya bergerak, kalau dikumpulin dengan anak yang kalem, pemerhati, gurunya sebel sama dia.

Seolah-olah menjadi anak yang bodoh, padahal itu cara dia belajar.

- Tapi pengelompokan kayak begitu, itu agak Darwinian. Itu kan seakan-akan secara nggak langsung menyaring kan?

- Iya, jadi pas dia masuk, 1-2 minggu pertama masih umum, nanti kelihatan, ini anak begini, oke masuk.

Jadi anak yang auditorik, akan dapatkan guru yang ngoceh terus. Anak yang memang dia visual, gurunya akan presentasi gambar terus.

Orang yang visual, contohnya istri saya, dia visual banget, dia ngelihat, jadi kalau kita kalau belajar metabolisme badan manusia, ada namanya siklus krebs.

Itu benar-benar kayak apa energi tubuh kita diolah seperti apa rantainya begini, begini, itu ribetnya setengah mati.

Saya dari dulu belajar sampai sekarang nggak ada yang inget satu pun. Segitu ribetnya.

Dia satu menit lihat, saya tanyain, "Ini apa?" Dia langsung tahu. Dia bisa ingat dia baca di buku. Karena yang dia ingat bukan hafalannya, tapi fotografiknya.

Dia langsung, "Oh ini di sini, oh ini gini." Tapi kan anak yang ini, kalau dia ketemu di kelas yang gurunya ngoceh, dia jadi apa? Jadi anak yang bodoh.

Jadi itu yang harus dibenerin. Terus nggak perlu ada, pelajaran sosial itu sangat penting, (pelajaran) Sejarah sangat penting. Tapi apakah semua orang harus belajar sejarah sedetil itu?

Dulu soal ujian saya, "Di mana Diponegoro lahir?" Sebenarnya untuk apa saya tahu dia lahir di mana? - Apa yang dia lakukan.

- Iya. Yang saya perlu tahu adalah Diponegoro ini adalah orang yang begini nih, ini kontribusinya untuk negara, ini cara berpikirnya, ini yang dia kerjain, itu penting.

Tapi dia lahir di mana, nama bapak-ibunya siapa, itu hal yang baik untuk diketahui, bukan yang harus tahu.

Buat orang yang mau tahu detilnya, ya sudah silahkan nih yang ada, sumbernya disiapin. Tapi jangan dijadikan pertanyaan. Jadi ini yang memisahkan ini saya belum lihat.

Sistem pendidikan kita itu masih, "Lo harus tahu semuanya." Akhirnya ni anak jadi nggak tahu apa-apa. Sayang.

Makanya orang Indonesia, Pak Gita ngerasain. Dulu SD-SMP, Pak Gita masih di Jakarta? - SD-SMP masih.

- Pasti waktu sampai Amerika jadi anak paling pintar karena sudah terbiasa menyerap semuanya.

- Tahu nggak, salah satu mata pelajaran favorit saya apa? Dulu di SD itu ada yang namanya mencongak. - Apa tuh?

- Nah, Anda nggak tahu kan? Mencongak itu jadi guru ngomong pertanyaan, nggak nulis, nggak apa, kita coba jawab. Itu melatih kuping dan otak.

Itu saya paling suka. Karena saya ya agak-agak seperti Anda. Saya paling nggak suka nyatet, saya paling nggak suka, ya dulu jarang beli buku juga.

Tapi kalau 2x2x4-2 = berapa? Wah tunjuk tangan. Nah itu saya paling suka. Itu mencongak. Udah nggak ada lagi tuh.

- Gila istilahnya udah lama banget nggak didengar. - Orang tua Anda mungkin ngalamin. Itu tahun 1975-1976. SD kelas 4,5,6, itu masih ada mata pelajaran mencongak. Itu keren banget.

-Saya itu mulai terbuka gara-gara beberapa teman yang saya kenal. Kayaknya waktu SMP-SMA kita sekelas, kita jadi tahu anak ini pinter apa enggak, versi kita waktu itu.

Di kelas saya, dia rangking 20, rangking 30, bukan yang paling depan. Seolah-olah kita menganggap dia ini nggak pintar-pintar amat.

Begitu dia sekolah ke Jepang, jadi orang yang sangat top di sana. Terus saya juga ngelihat salah siapa berarti? Jangan-jangan dulu dia bukan bodoh,

tapi nggak nemu cara belajar yang, sistem pendidikannya tuh nggak pas sama dia. Begitu dia ke Jepang, ni anak pintar banget, sekarang ngajarin semuanya.

Waduh saya bilang, "Nih berarti ada yang salah." Saya ngobrol sama dia, "Kenapa kog lu tiba-tiba jadi pinter sih sekarang?" Itu pertanyaan saya waktu ketemu.

Terus dia bilang, "Dari dulu sebenarnya gua ngikutin sih. Cuma gua nggak suka gurunya ngomong gini, karena dia dia paksa gua harus gini, gini. Gua nggak suka, gua nggak mau, gua berontak aja."

Dan buat dia rangking 20, rangking 30, nggak penting. - Nggak ada korelasi tuh rangking dengan kesuksesan.

- Sering kayak gini, Pak. Akhirnya jadi candaan sekarang kan. Beberapa kali saya dapat meme tuh. Anak yang dulunya bandel di kelas malah jadi bos.

Karena mungkin bandel yang dikategorikan bodoh ya seolah-olah, sekarang malah jadi bos.

Jadi sebenarnya dia bukan bodoh. Kalo nggak, nggak mungkin dia bisa.

- Nggak kena aja dulu setingnya. Jadi gimana tolok ukur untuk pendidikan kita ke depan supaya kita jadi bangsa yang keren.

- Mentri kita harus kerja keras, harus berani mengubah ini. - Kerja keras udahlah. Tapi tolok ukurnya apa?

- Merubah pola pikir orang tua juga. - Oke. Itu saya setuju. Pendidikan di rumah tangga itu penting.

- Saya termasuk yang termasuk kaget waktu awal-awal. Saya selalu ngomong ke mana-mana, "Pokoknya anak harus begini, dibentuk sesuai dengan bakat dan ketertarikan dia ke mana."

Tapi waktu anak saya nggak bisa perkalian, saya stres. Waduh nggak bisa kali-kalian nih. Padahal dia emang enggak berbakat ke sana.

Dia emang ya Matematika sekedar dia bisa ngitung duit, dia nggak ditipu orang, dia bikin pencatatan uang masuk & uang keluar, cukup kan sebenarnya.

Kalau dia nggak mau jadi bankir kan nggak perlu segitu-segitu amat. Ternyata dia mau jadi musisi. Musisi belajar Matematika penting,

tapi nggak perlu belajar sampai akar kuadrat, algoritma, segala macam, kan nggak penting. Nah ngapain anak-anak kita itu dipaksain, saya mikirnya begitu.

Nah ke anak saya, saya gituin. Wah dia kesenengan. "Kata ayah nggak harus belajar Matematika karena saya nggak tertarik ke sana," kata anak saya yang perempuan.

Aduh iya juga ya, tapi gimana ya, saya yang stres. Waktu dia nilai Matematikanya jelek dibandingkan teman-temannya, kita ikut stres.

Cuma saya balik lagi, saya ngerasa dia jago Matematika tapi nanti dia nggak pakai, buat apa?

Mendingan teman-temannya yang jago, jadi kalau dia butuh, dia bisa dapat penghasilan hidup yang layak dari cara lain,

dia butuh ahli hitung, gua bayar aja, lu hitung buat gue. Kan dia lebih hebat ngebayarin orang itu buat dia. Jadi dia nggak harus ngitung. Iya nggak sih Pak?

Pak Gita kan punya anak 3. Yang satu pendidikannya udah top banget tuh. Pasti lagi mikir (anak ke) 2 & 3 gimana nih?

- (Anak ke) 2 baru aja lulus. Si Gibran masih inget nggak? - Oh udah lulus?

- Alhamdulillah. Udah kerja sekarang di LA. Waduh gara-gara Anda tuh dia main musik sekarang. Gian juga main musik.

Si Gia tahun depan masuk kuliah. Inget nggak jaman dulu? Anda jadi baby sitter (pengasuh) di rumah nemenin anak-anak main.

Tapi benar Tom, ini gimana supaya negara kita, bangsa kita makin keren ke depan. - Sama kayak gini Pak, misalnya, Gia dari kecil pingin jadi pembuat film.

Seharusnya dari awal eksposurnya gimana membuat film yang bagus kan? Bule itu saya perhatiin, saya beberapa kali kerja sama bule,

dia kalau jago di bidang A, yang lain itu gobloknya minta ampun. Tukang ledengnya mereka tuh jago banget untuk urusan ledeng.

Tapi begitu ban sepedanya kempes, dia bingung mau ngapain. Kira-kira kayak gitu. Iya kan Pak?

Bule kan kayak gitu, jadi kalau dia A; dia A terus. - Pengelompokan (silo). Tapi ada juga yang bisa bercabang sih.

- Iya tapi kan 1-2, kebanyakan enggak. Saya sebagai bedah plastik, kita di sini dituntut untuk ngerti semuanya.

Kita belajar semuanya, ngerjain semuanya. Terus suatu waktu saya ikut konfrensi di luar. Duduk bersebelahan sama ada 1 dari Jepang, 1 dari AS, sama dari UK.

Ngobrol, "Lo udah ngerjain apa aja?" Jadi waktu saya dapat beasiswa ke Sidney ... - Saya ketemu Anda waktu itu, inget nggak? Kita nyanyi.

- Iya benar. Itu pas ada Pak SBY, kan? Itu saya lagi ikut lokakarya, itu ketemu dengan beberapa orang.

- Nyanyi Juwita Malam atau Sepasang Mata Bola? Juwita Malam. - Saya lupa lagunya apa.

Yang tadinya hampir nggak jadi, terus jadi. Terus udah gitu, mereka nanya, "Lo udah ngapain aja?" sama-sama masih sekolah, tahun akhir sekolah.

Itu saya cerita, "Kita diajarin ini, ini." " Hah, Anda pasti jenius!" dia bilang gitu.

"Enggak. Kita emang kurikulumnya." Karena di mereka enggak ternyata.

Jadi mereka begitu lulus, baru nanti akan ikut lagi, misal, Profesor siapa buat ngedalemin itu doang. Padahal di sini kita semuanya udah, kita ada stase nyambung tangan,

ada stase kelainan kongenital, segala macam kita kerjain. Cuma, karena semua dikerjain jadi lebih supervisial.

- Tapi itu mungkin kebetulan dia ketemu orang namanya Tompi aja, yang suka di sini, suka di sini. - Enggak, Pak. Sama teman-teman saya juga begitu. - Oh ya?

- Iya. Semua teman saya juga begitu, sama. Kalau sekolah kan nggak saya doang, bareng-bareng sama yang lain. Dan emang kuriukulum kita itu melebar.

Di fase sekarang, saya sudah lulus, saya sudah praktik, punya klinik, saya ikut lokakarya rinoplasti di Turki,

ketemu dengan dengan dokter-dokter dari negara lain. Di Miami juga ketemu dengan banyak dokter, terus ngobrol. Terus saya masuk ke kelas rinoplasti,

saya dengerin, terus pas lagi istirahat, kita ngobrol, "Lo ngerjain apa aja di negara lo?" Ngobrol seputar itu.

Ya saya cerita, "Saya ngerjain ini, ini, ini." "Oh! Saya kira Anda spesialis rinoplasti."

"Saya ngerjain juga, saya ngerjain mata, ngerjain payudara." "Wow, Anda pasti jenius."

Saya bilang, "Semua dokter bedah plastik di negara saya begitu." "Semua dokter di negara lo pasti jenius dong?"

Karena buat mereka itu sangat sulit. Lo harus mikirin mata, terus lo mikirin payudara juga, lo ngerjain rinoplasti juga.

Terus saya jadi bingung jawabnya. Kalu dijawab, "Iya", nanti dibilang sombong banget, tapi emang kenyataannya kita ngerjain.

Nah mereka enggak. Kalau ngerjain mata, mata aja. Begitu ada masalah di tempat lain, "Oke, saya rujuk ke yang master di sini," kayak gitu.

- Penasaran aja, yang paling sulit apa sih prosedur? - Semua sulit, Pak. Nggak ada prosedur gampang. - Oh ya? Semuanya tuh kesulitannya sama?

- Ya kan beda-beda. - Ya tapi yang paling tinggi kesulitannya apa? Kuping? Hidung? Mata?

- Kalau semuanya sama aja, semua bisa ngerjain apa yang kita kerjain juga. Sulit. Tapi sejauh ini kalau di tangan saya,

yang paling banyak saya kerjain di sini, yang mungkin belum terlalu familiar banyak adalah rinoplasti; operasi hidung dengan menggunakan tulang rawan iga.

Itu kita udah bisa dengan sayatan 1,5 cm, kita ngambil iga sampai 4-5 cm, ini sayatannya minimal iganya dapat banyak, nah itu cukup buat merekonstruksi hidung.

- Tapi yang Anda lakukan itu sebetulnya penyuntingan loh. Balik ke genetik lagi.

- Iya. Tapi nggak ngerubah sel inangnya.Yang saya lakukan itu seperti Pak Gita pakai baju, tinggal saya tambahin selendang doang, tapi selendangnya anatomis.

- Itu penyuntingan, augmentasi. - Iya. Augmentasi juga sama, bisa saya kempesin sewaktu-waktu.

Jadi gennya nggak berubah. - Ini kita kembangkan konstruksi percakapan untuk kepentingan Indonesia ke depan. Gimana supaya kita keren?

Gini, Anda kan keren nyanyinya, keren filmnya, keren fotografinya, ini kalau diproyeksikan ke luar, ini bisa memperkaya narasi Indonesia.

Terus Anda juga bisa ilmu sains; (ilmu) kedokteran. Itu bisa memicu daya tarik orang terhadap sains. Kalau menurut saya ilmu empiris di Indonesia itu kurang sekali.

Skalanya kurang. Ada, tapi dibanding India, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Israel, dan Amerika, kurang. Itu gimana supaya Anda bisa berperan?

Nah, ini mungkin agak-agak ngedorong nih. Godaan Anda untuk membawa negara ini ke depan ke arah yang lebih baik, bisa juga ke koridor politik.

Gimana tuh Tom, ngeramu ini semua? Kalau Anda sebelum tidur, lagi nonton Netflix, sempat nyetrum juga kan?

- Banget, Pak. Dan itu sebenarnya omongan saya selalu sama Glenn. Dan Glenn selalu bilang, "Bre, lo harus masuk ke politik."

Saya terus terang punya ketertarikan untuk masuk ke dunia politik. Dan sebenarnya periode yang kemarin hampir masuk. Udah tanda tangan, udah semuanya.

Semuanya udah beres. - Apa yang membuat Anda terhenti? - Ibu saya.

Tiba-tiba ibu saya nangis-nangis bilang, "Jangan masuk politik tahun ini karena begini, begini, begini."

Dan untung saya ngikutin, kalau enggak berantakan kayak sekarang. - Ibu selalu benar. Percaya sama ibu.

- Iya, sakti. Kalau ibu itu sakti. Jadi dibilang nggak, ya sudah. - Itu nggak bisa diremehkan.

- Saya ngikut akhirnya, ya sudahlah. Dengan kekecewaan ya. Saya berusaha meyakinkan. Dia bilang hampir nangis-nangis, "Pokoknya enggak.

Apa pun ceritanya, enggak. Kali ini tolong dengerin Mama." Ya sudah. Saya telpon partai yang sudah saya okein.

Jadi waktu itu lucu, Pak. Ada beberapa partai-partai besar yang semua bagusnya mereka mungkin melihat saya konsisten.

Mereka, "Mas Tompi ikut ya." Saya ketemu satu-satu, dengerin. Mulai dari yang siap mendanai biaya kampanye

sampai yang biaya kampanye saya danai sendiri. Waktu itu saya bilang, "Saya kalau memang masuk ke politik, saya pinginnya tunggu setelah saya mapan dulu.

Saya tidak mau hidup di politik," saya bilang. Saya nggak mau hidup dari proyek.

Jadi kalau memang saya masuk, karena saya memang pingin, saya sudah cukup, saya udah punya yang saya butuhin,

anak-anak sekolah sudah saya siapin, ada waktu lebih, saya mau ngurusin negara. Kira-kira begitu, Pak. Saya mikirnya begitu.

Jadi saya nggak akan masuk buat nyari duit di situ. Tapi nggak juga buat bakar duit.

Jadi waktu ada salah satu partai yang nawarin saya untuk masuk, saya nanya, "Tar kampanyenya dari mana?

Pendanaan pribadi, atau ada sponsor, atau dari partai?"

"Oh enggak, kalau di kita itu pendanaan pribadi."

"Oke berarti saya berhitung, saya harus siapin duit kira-kira sekian. Benar?" "Benar, Mas Tompi."

"Gaji saya sebagai anggota dewan kalau saya masuk sekian, nggak masuk. Jadi saya keluar, saya nggak mau."

"Tapi kan nanti bisa begini." "Nggak. Itu yang saya nggak mau. Karena kalau pun saya masuk, saya mau kerja doang.

Saya nggak mau main proyek atau apa pun." Saya nggak bilang yang sekarang di situ begitu.

Tapi mungkin mereka udah selesai dengan dirinya. Jadi udah siap. Jadi saya cabut dari satu partai yang itu.

Terus ada lagi partai yang nawarin, "Kita akan membantu mencari sponsor untuk mendanai ini."

Udah dapat sponsornya, terus ketemu dengan sponsornya, saya tanya, "Anda pingin apa dari saya? Kenapa Anda mau keluar duit sekian banyak?"

Duitnya itu nggak dikit loh Pak, 2 digit M. Dan saya tanya, "Ekspektasi Anda apa? Kenapa percaya banget saya masuk?"

"Kita melihat gini, gini, gini." "Oke. Ada yang harus saya penuhi nggak? Kalau iya, saya mau lihat, ditulis di atas kertas." Nggak ada.

Yang dia pingin waktu itu, ya menurut saya ni orang mulia banget.

"Saya cuma pingin Mas Tompi bantu perjuangkan tolong gaji pegawai negri itu harus yang terbaik. Kalau bisa lebih tinggi dari pegawai swasta."

Dan itu yang saya pingin sebenarnya, Pak. Karena saya lihat gini, sekarang yang duduk di bangku pegawai negri,

sekarang udah beda ya, udah banyak yang memang pingin. Tapi dulu, rasa-rasanya karena dia nggak kebagian di perusahaan yang keren,

di perusahaan swasta yang bonafit, nggak kebagian di sana, masuk kw pegawai negri. Iya nggak Pak? Itu fakta yang kita lihat.

Sekarang udah mulai banyak orang keren yang memang dari awal pingin masuk di pegawai negri. Dan itu bagus.

Itu yang kita mau. Maksudnya, harusnya pemerintah itu menstimulasi hal ini dengan cara, "Lo kalau jadi pegawai negri, gaji lo itu keren loh."

Jadi prestisenya keren, gajinya keren, lo dapat ini, nah itu yang belum. Saya nggak tahu itung-itungan negaranya seperti apa, tapi saya rasa harus udah mulai ada pemikiran ke sana.

Supaya yang menjadi Kepala Polisi kita adalah orang yang terbaik di bidangnya, yang jadi Jaksa adalah orang yang terbaik di bidangnya,

semuanya yang terbaik di bidangnya, bahkan Kepala Desa. Kira-kira kayak gitu. Itu mimpi saya.

Nah, orang ini kebetulan ngomongnya sama. Kalu gitu saya setuju. Jadi saya nggak bekerja buat dia. - Di Singapura kayak begitu.

- Oh ya? - Yang kerja di pemerintah itu gajinya sama atu bisa lebih tinggi daripada di swasta. Mentri itu, Perdana Mentri itu jutaan dolar.

- Nah itu benar, Pak. - Kepercayaan dan pemikiran mereka itu adalah yang direkrut di pemerintah, itu yang terbaik.

Dan kalaupun dia keluar dari pemerintah, dia bisa terakomodasi di swasta. Dan mereka bahkan dalam jenjang karirnya itu mereka disuruh magang di multinasional.

- Keren ya. - Itu udah kayak begitu. - Mungkin nggak sih Indonesia gitu, Pak?

- Mungkin dong. Itu semua kan ujung-ujungnya pajak, ke ruang fiskal. - Karena kalau sekarang nggak masuk akal gitu. Presiden digaji cuma segitu.

Suruh ngurusin negara segini gede, jumlah penduduk segitu banyak. Nggak masuk akal. - Timpang.

- Udah gitu gimana caranya membuat orang tidak tergoda. Karena gini, harfiahnya manusia itu kan penuh dengan godaan, Pak.

Pak gita sekarang sebagai Mentri Perdagangan, terus tiba-tiba datang perusahaan dari mana-mana mau proyek perdagangan yang harganya milyaran dolar,

terus Pak Gita cuma digaji sekian puluh juta sebagai mentri. - Mentri 18 juta.

- Waktu tanda tangan apa nggak gemetar tuh tangannya, "Sialan lo yang dapet, gue nggak dapet apa-apa."

Akhirnya orang yang di posisi-posisi penting banyak yang tergelincir kalo yang penjagaannya nggak kuat, nggak punya dukungan di belakang.

Jadi harusnya yang duduk di situ udah, "Lo bisnisnya milyaran dolar, gua tuh bisa bikin segini juga," kira-kira segitu. - Iya, penting untuk adanya kemerdekaan finansial.

Tapi gini loh Tom, Anda kayaknya bakal tergoda lagi nih. - Untuk apa itu Pak?

- Itu kalau menurut saya keputusan kemarin itu hanya masalah waktu. Bukan masalah prinsip.

Dan bisa jadi nanti di waktu lain, Anda mungkin lihat kayaknya waktunya udah oke. Saya bukan mau ngejerumusin, tapi saya mau bertanya aja, apa pun yang Anda lakukan ke depan,

Anda tuh punya kekuatan-kekuatan yang bisa memproyeksikan soft power (kekuatan lunak) Indonesia dan kekuatan saintifik.

Itu gimana untuk bisa memajukan bangsa dengan skala yang diinginkan oleh masyarakat luas. Gimana tuh caranya?

Ya paling gampang Anda konser di London, di New York, di Tokyo, yang datang 50.000 orang, 20.000 orang, nama Indonesia harum, kan. Atau Anda bikin film, menang ngalahin Parasite di Oscar.

- Amin. Tapi memang sih Pak, yang sederhana ... - Atau jadi pemimpin.

- Hal sederhana yang saya lihat, ini lebih mensyukuri sebenarnya, saya sebagai ahli bedah plastik, terus diundang ke luar jadi pembicara.

Terus karena teman saya itu tahu, "Lo kan penyanyi kan? Lo nyanyi dong." Tapi mereka mikirnya tadinya cuma, "Pasti penyanyi iseng," sama kayak mereka hobi nyanyi, gitu.

Terus saya nyanyi akhirnya. Habis saya nyanyi, mereka langsung bingung, "Lo kedengaran profesional banget," katanya.

Terus saya bilang, "Gua emang nyanyi sebagai kerjaan." Terus mereka akhirnya cari tahu. Wah makin makin terkaget-kaget lagi, kan.

Buat mereka pun, "Loh kog bisa?" Karena di bidang yang saya geluti itu nggak main-main. Di bedah plastik pun saya mencoba berinovasi, Pak.

Sekarang ada beberapa teknik operasi yang saya coba kembangin sendiri, pendekatannya dengan metode saya, dan yang lagi saya coba tulis untuk kita coba publikasikan ke luar juga.

Yang terakhir, saya diundang ke Korea nanti untuk acara pekan ilmiah tahunannya mereka, karena lagi pandemi, kita akan melakukan secara online.

Saya menjadi salah satu pembicara di situ ngomongin tentang teknik yang saya gunakan. Saya ngerjain inovasi. Karena semua orang juga ngerjain, tapi kan pendekatannya beda-beda.

Ya, saya punya ketertarikan yang pasti di bidang politik. Dan bukan tidak mungkin, sangat mungkin suatu waktu saya akan masuk. Cuma memang masih menunggu aja.

- Jadi fungsi waktu, bukan prinsip. - Nanti saya pasti akan ngadep sih Pak. Buat nanyain yang boleh dan yang tidaknya apa.

- Tapi Anda sangat bisa berperan, Tom, untuk Indonesia ke depan. Supaya Indonesia itu lebih keren ke depan.

Bukan berarti Indonesia belum keren, Indonesia udah keren. Tapi ini konteksnya cukup luas, kompetisinya, persaingannya lebih.

- Negara kita kan punya ekspertis yang besar kan Pak. Kita nggak kekurangan orang pintar, tapi kita masih kekurangan pendayagunaan.

Jadi kayak belum diberdayagunakan aja. Tapi sebenarnya kalau sumber dayanya, kita punya semua. Jadi nggak masuk akal, negara dengan kapasitas segini besar,

hanya menjadi konsumen doang. Nah itu kan yang didengungkan pemerintah saat ini ke arah sana.

- Paradoksal. Sangat paradoksal. Kita konsumsinya luar biasa, tapi produksi dalam negrinya kurang.

- Dan masyarakat kita terbiasa ngelihatnya, "Laut kita kan luas, masa garam aja impor."

Padahal jumlah garam yang tersedia/siap pakainya ... nah itu gimana Pak menjawab itu?

- Jadi itu ujung-ujungnya investasi. Jadi kalau garam tuh produksinya pendekatannya ada 2; ketengan dan industrial.

Kita harus mengambil sikap industrial. Industrial itu perlu bangun pabrik yang gede banget seperti yang dilakukan di Meksiko, di beberapa negara.

Itu investasinya milyaran dolar. Ini udah dibahas dari kapan-kapan, dan lokasi yang mana bahan mentahnya banyak,

itu banyak sekali di Indonesia bagian timur termasuk di Madura juga. Tapi uang, mendatangkan uang.

Kalau uangnya mau datang, dia mengkondisikan tanahnya harus ada, lahannya harus ada. Di sini kan pembebasan lahan nggak gampang.

Jadinya kendalanya sebetulnya itu-itu aja dari dulu. Tapi kalau menurut saya, ujung-ujungnya gimana Indonesia bisa mendatangkan devisa/modal.

Saya sering ngobrol mengenai ini, likuiditas atau modal itu penting untuk menggerakkan ekonomi supaya kita bisa lebih keren.

Duit di dalam negri itu terbatas. Mau nggak mau kita harus mendatangkan duit dari luar negri.

Dan duit di dalam negri ini keterbatasannya bukan dari swasta aja duitnya yang terbatas, tapi perbankan.

Itu juga kalau kita lihat pertumbuhan kredit tahun lalu cuma 6%. Tahun ini pertumbuhan kredit cuman mungkin 2% maksimum.

Nah itu cermin dari keterbatasan duit di dalam negri. Mau nggak mau kita harus mendatangkan dari luar.

- Nah ini ngomong kredit nih Pak. Saya jadi pingin nanya ke Pak Gita. Saya selalu penasaran kenapa angka kredit kita itu di sini, bunganya sangat tinggi.

Di Singapura saya dengar cuma 1%-2% doang. Amerika juga kecil. - Di Amerika di bawah 1.

- Jepang malah investasi bisa 0. - Minus. Eropa minus. - Di kita, gimana tuh Pak?

Kog bisa, saya mau ngambil KPR, bunganya bisa 8% di awal, terus tiba-tiba naik 11%, nggak ngasih tahu lagi.

- Ini semua tergantung resiko, atau premi resiko.

- Nggak. Maksudnya kenapa negara kita tuh, kan kalau negara lain bisa menerapkan itu, apa nggak serta merta kita juga bisa, "Ya sudah bunga kita juga 2%."

- Idealnya ke sana. Tapi ujung-ujungnya, jadi kalau duit yang masuk itu kan dolar kebanyakan.

Kalau dolar mau ditukar ke rupiah ... - Ada selisihnya? - Bukan selisih aja, itu ada biayanya yang harus dibayar.

Biaya itu menjadi salah satu dari beberapa variabel yang dipertimbangkan. Nah suku bunga itu cermin,

suku bunga itu adalah biaya dari penawaran untuk uang sama permintaan untuk uang. Interseksi antara penawaran dan permintaan itu adalah biaya

atau suku bunga. Itu cermin dari beberapa variabel termasuk resiko yang harus dipikul. Resiko negara kita itu tergantung peringkat.

Peringkat kita tuh baru Triple B, peringkat investasi. Sedangkan di Singapura, itu Double A atau Triple A.

Semakin ke A, apalagi kalau A-nya makin banyak, itu resikonya makin kecil, sehingga preminya makin kecil, suku bunganya makin kecil.

Kalau kita masih Triple B, ya orang tuh kalau mau naruh duit di sini, ya mikir 2 kali, karena premi resikonya lebih tinggi dibanding ke Singapura.

Itu mempengaruhi biaya penawaran dan permintaan duit. Jadinya kalau Anda mau kita suku bunganya rendah, peringkat negara harus membaik.

Dari Triple B, kan menjadi A. Tapi dari Triple B, kita harus Triple B+. Dari Triple B+ kita ke A-, baru itu semakin resikonya turun,

semakin biayanya turun, semakin suku bunganya turun. Ya, sabar aja Tom. Semakin banyak kepastian, semakin ...

Maih ingat nggak tahun 1998, bunga itu 60%-70%. Anda lupa masa? - Saya belum pernah pinjam, Pak, jaman itu.

- Saya udah jadi bankir waktu itu. Inflasi 60%, suku bunga 60%-70%. - Oh gara-gara 1998 itu?

- Iya. Dan itu menurunnya juga inkrementalis. Nggak langsung gitu. Tapi ini luar biasa dalam 2 tahun suku bunga udah turun.

Sekarang kan SBI udah 4,25% atau 4%. Dulu SBI pernah puluhan persen. SBI itu suku bunga di Bank Indonesia.

Itu kalau menurut saya udah jauh lebih baik dari 20 tahun yang lalu. Saya memprediksikan 5-10 tahun ke depan itu kita udah rendah sekali suku bunga.

Jadi cicilan akan turun, syukur-syukur udah lunas. - Udah lunas itu.

- Tom, saya mau nanya beberapa pertanyaan cepat. Biasanya kan kalau di sesi-sesi yang lain saya nanya mengenai konsep yang dianggap seperti saham,

beli atau enggak. Saya mau nanya kombinasi antara hal-hal seperti itu dengan yang lain.

Anda ngelihat perannya robot ke depan dibanding manusia gimana? - Akan mendominasi. Robot akan mendominasi.

Tapi emang robot nggak akan pernah bisa menggantikan manusia. Tapi untuk pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya no brainer (mudah),

yang nggak perlu penyesuaian perasaan terutama, harusnya akan lebih menguntungkan menggunakan robot.

Cuma memang ini akan menjadi masalah menurut saya ke negara-negara dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia.

Kalau sekarang kita perlu 500 pekerja di perusahaan tekstil, misalnya, buat masangin kancing. Kerjanya cuma masangin kancing doang dari pagi- sore.

Yang mana dengan robot itu cuma perlu 1 orang buat mengoperasikannya. Secara bisnis pasti akan menguntungkan.

- Kalau besok ada robot yang bisa melakukan bedah plastik? - Nah itu agak susah karena ada penyesuaian.

Bedah plastik itu kayak pelukis. Pak Gita pasti nggak mau beli lukisan yang bagus tapi ada 1 juta orang yang punya. Nggak mau pasti.

Maunya punya lukisan bagus yang cuma Anda doang yang punya. - Unik.

- Iya. Bedah plastik pun kayak gitu. Kalau kita ngomong bedah estetik kayak gitu. Kasusnya nggak akan sama.

Perkerjaannya sama. Saya melakukan operasi hidung pada A, B, C, tapi kasusnya beda, hasilnya beda, pendekatannya juga beda. Itu nggak bisa digantikan sama robot.

Tapi dia membantu bisa. Jadi nanti saya rasa perkembangannya akan ke ... Ini yang saya ngomong ke anak saya. Daka kebetulan dia senang robotik, dia sekarang lagi belajar koding, dll.

Saya bilang, "Daka, belajar Koding, nanti Daka bikinin robot, ayah duduk di rumah doang, operasi dari rumah." Itu mungkin, Pak.

Jadi saya nggak perlu ke klinik, pasien cukup di rumah, alatnya saya kirim ke sana, udah bersihin semuanya, saya main aja kayak main game di sini, robotnya yang kerja.

Tapi penerjemahanya dari sini, kecerdasan artifisialnya dari manusianya. - Anda yang memprogram, dia yang eksekusi.

Berkaitan : Penjelasan tentang Feed IG

- Iya. Itu mungkin. Artinya dia nggak bisa kita program kayak dia jalan sendiri. - Tapi kalau ngelihat kayak di film-film sci-fii gitu kan, kalau untuk operasi yang konvensional,

kalau robek kulitnya, itu bisa dilakukan. - Tapi tetap ada operatornya. - Oh ya? Nggak bisa dipindai gitu pakai robot?

- Iya menunya belum menu (misalnya) operasi jantung, "Kilk." Nggak gitu, nggak gitu, belum bisa.

- Harus ada orang megang? Oke. - Tetap ada orang yang mikirnya begini. Karena dia cuma motong, dia nggak mikir kalau dia motong, ini muncrat, harus ke mana nih.

- Yang lebih terdisrupsi justru profesi perawat atau asisten dokter? Bukan dokternya ya? - Iya. Untuk saat ini ya Pak.

Tapi bukan nggak mungkin. Saya rasa suatu waktu benar-benar bisa. Tapi mungkin dokternya kerja di ruangan, (untuk) persiapan aja.

Mempersiapkan semua dari pemetaan. Cuma kita akan melahirkan dokter yang harus belajar TI (Teknologi Informasi) banget.

Sekarang kan masih banyak dokter nggak bisa main komputer. - Oke. Yang berikutnya, presiden yang perempuan di Indonesia sebelum tahun 2045.

- Saya rasa iya. - Berapa? Ada 5 siklus lagi kan. Dari 5 siklus ini ada berapa yang bisa jadi? - Satu.

- Oke. Presiden non-Jawa dalam 5 siklus ke depan? - Bisa 2-3. Karena saya lihat orang saat ini sudah mulai untuk tidak melihat suku.

Karena itu, informasinya sudah ... Kalau generasinya Pak Gita mungkin masih. - Iya. Banyak sih yang mikirnya kayak begitu.

- Generasi saya sudah mulai terdilusi. Tapi yang (generasi) anak-anak saya udah nggak sama sekali. Mereka nggak peduli. Jadi mereka kalau berteman, nggak nanya, "Lo dari mana?"

Mereka nanya, "Lo senengnya apa? Bisa main craft nggak?" Nah bisa jadi teman, yang nggak main craft nggak jadi teman.

- Oke. Indonesia udah menang berapa Oscar atau berapa Grammy sebelum tahun 2045?

Harus aspiratif dikit dong. - Karena ketertinggalannya emang jauh.

- Pasti. Tapi harus berusaha meraih.

- Mungkin kurang dari 5. - Itu bagus. Masing-masing? Grammy kurang dari 5, Oscar, kurang dari 5?

- Bukan, dua-duanya. Mungkin ada 1-2, tapi saya nggak yakin. - Gimana supaya bisa 10?

- Karena permasalahannya itu kan kerja kolektif. Satu orang bagus, tapi sistemnya nggak bagus, nggak jadi juga. Dan permasalahan waktu kan nggak berhenti.

Kita kejar ketertinggalan kita, orang yang di sini juga ngejar lebih maju lagi, jadi kita nggak mungkin kita begini (bisa melampaui).

Hollywood itu udah bisa bikin film tanpa ada pemainnya. Kita yang masih ada pemainnya aja masih ngaco.

- Ini balik ke percakapan kita yang tadi, Tom. Gimana bisa merekayasa atau memberdayakan teknologi, kecerdasan artifisial, genetic recoding, dsb.

- Iya kalau negara kita jadi penemu itu, mungkin. - Nggak usah penemu, tapi pengguna teknologi orang lain.

- Ya begitu itu udah ada, mungkin bisa dikerjakan. tapi ya itu tadi, "Menantang Tuhan." Itu agak susah sih. Cuma pelan-pelan kita akan mengejar, tapi nggak dengan lompatan besar.

- Tapi bakal keren banget lo kalo kita bisa menang 10 Grammy 25 tahun ke depan, 10 Oscar. Kategori apa pun.

- Tentu, Pak. Kalau ngomong keren, pasti. - Joey (Alexander) nyaris loh. Nggak ngira kan orang dia bisa dinominasi. Si Joey, Wow!

Oke. kalau nobel berapa? - Kalau nobel malah mungkin. Lebih dari 5.

Kalau nobel mungkin, karena ruang eksperimental kita tuh terbuka sekarang. Tinggal pemerintah kalau memang serius mendukung,

atau pihak swasta mendukung anak-anak Indonesia untuk bereksperimental. Eksperimental itu mahal di biaya.

Selama ini saya baru nemu ada 1 teman saya yang saya kenal yang berani untuk mendukung orang eksperimen. Keluarin duit sampai milyaran biaya. - Eksperimen apa?

- Apa aja. Jadi ada teman saya namanya Daniel, kapan-kapan Pak Gita boleh undang dia. Dia anak Indonesia, kuliah di luar, tadinya mau masuk (jurusan) Seni Rupa,

terus sama bapaknya, "Jangan deh, belajar bisnis." Belajar bisnis gitu. Sekarang dia salah satu pengusaha tambang di Kalimantan. Mimpi dia adalah

memberdayakan temuan-temuan lokal yang menurut dia potensial banget. Saya beberapa kali ketemu sama dia, dia lihatin nih,

"Tom, gua ketemu orang ini, dia bisa begini." Saya terkaget-kaget loh Pak. Luar biasa! - Apa aja contohnya temuannya?

- Pak Gita, di Singapura itu ada bola-bola yang naik-turun, nah ini orang bisa bikin program jauh lebih ribet daripada itu.

Gila! Saya lihat, "Gila! Keren banget!" - Anak Kalimantan yang bikin?

- Enggak. Dia kerja di salah satu perusahaan IT di Telkom atau apa gitu, itu cuma jadi pekerja biasa. Karena emang nggak punya ruang buat begituan.

Kemudian ketemu sama teman saya ini, dibikinin perusahaan, "Ya sudah lo bikin ini, nanti kita jual."

Pak Gita harus ketemu sama Daniel, tar saya kenalin. - Boleh. Saya ngelihat digitalisasi ini gila loh ke depan. Bakal terus mendirupsi banyak hal.

- Saya memprediksi beberapa tahun ke depan, uang nggak akan beredar lagi. - Itu nggak lama lagi.

- Sekarang megang HP aja, nggak ada HP bakal mati, bayar pake HP. Di Cina udah sebenarnya. - Udah. Saya waktu tahun lalu ke sana, mau bayar pakai uang ditolak.

Kebetulan teman saya punya WePay, pakai WePay; pindai QR. Saya tanya, "Kenapa lo nggak mau nerima?"

Baca juga: Cara Share Link Google Drive

"Ya lebih gampang rekonsiliasinya nanti kalau udah tutup." Itu mah nggak lama lagi bakal tanpa uang tunai.

Ini yang harus diwaspadai bakal banyak industri atau profesi yang bakal terdisrupsi, kita harus siap.

Karena dampak sosialnya banyak. Yang pasti dampak ekonomi. Ini itung-itungannya kan sejauh mana orang yang terdisrupsi itu bisa melakukan reskilling/upskilling (peningkatan kemampuan).

Tapi sekarang gini, kalau tiba-tiba besok ada mobil yang bisa jalan sendiri nggak pake sopir. Sopir yang terdisrupsi, dia nggak bisa melakukan koding. Suruh ngelas juga nggak bisa. Gimana tuh?

Di Indonesia ada 130 juta orang yang kerja. Kalau dalam 5-10 tahun ke depan ini disrupsi digital ini semakin banyak, semakin sering, semakin apa pun,

kita harus siap untuk menyiapkan agar mereka bisa di-reskill/upskill. - Itu PR-nya berat banget. - Berat banget. Akuntan udah nggak perlu lagi.

- Yang sederhana pintu tol, Pak. - Udah nggak ada lagi yang jaga. - Sekarang yang dulu kerja di pintu tol, nggak dipecat tapi nggak jelas kerjaannya apa.

- Iya kalau dia bisa koding, dia udah kerja di perusahaan digital. Kalau nggak bisa, mungkin nyanyi di bar. Tapi kalau dia nggak bisa nyanyi, nggak bisa ngelas, susah.

Ini harus dipertimbangkan, Tom, dalam peran Anda ke depan.

- Harus dipikirin ya. Tapi benar, emang berat sih ke depannya karena jumlah penduduk kita terlalu banyak.

Penduduk kita terlalu banyak dan terlalu beragam, ngaturnya susah. Kadang-kadang saya kepikiran kayaknya ada benarnya juga pakai sosialis, "Udah pokoknya begini!" Kan enak tuh kayak Korea Utara.

"Pokoknya begini!" Nurut jadi. Selama yang nyuruhnya benar, jadi benar. Tapi nggak bisa begitu. - Bisa panjang nih ngobrolnya.

- Tapi Pak Gita setuju nggak dengan itu? - Oke. Saya percaya dengan evolusi. Evolusi itu bisa terjadi dengan makhluk, tapi bisa juga terjadi dengan proses.

Termasuk proses politik. Manusia bisa berubah, tapi bukan berarti proses politiknya bisa berubah. Tapi untuk sementara saya percaya bahwa demokrasi kita nggak jelek.

Tapi apakah ini akan bentuknya seperti ini? Enggak. Ini akan terus berubah. Berubahnya ke sini atau ke sana, saya nggak tahu.

Itu tergantung kita semua dan tergantung pemimpin.

Terima kasih, Tom. - Sama-sama, Pak Gita.

Teman-teman, itulah Tompi, dr. Tompi, berbicara mengenai banyak hal, semoga bisa dinikmati. Terima kasih.

Komentar